![]() |
Diskusi membedah pemikiran budayawa yang putra Raja Karangasem, AA Made Djelantik |
DENPASAR – Sosok A. A. Made Djelantik menarik kembali diangkat sebagai budayawan asal keluarga kerajaan namun memiliki pemikiran maju dengan tetap membawa nafas sebagai orang Bali.
Buku berjudul “Bening Embun: Perjalanan A. A. Made Djelantik” menjadi perbincangan dalam program Timbang Pandang di Auditorium A. A. Made Djelantik, Gedung Lt. 4 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman, Denpasar.
Anak Agung Made Djelantik merupakan sosok budayawan Bali, seorang dokter sekaligus putra Raja Karangasem Anglurah Ketut Karangasem dan Makele Selaga.
Timbang pandang ini merujuk buku “Bening Embun: Perjalanan A. A. Made Djelantik”, sebuah biografi ditulis Dr. Nyoman Wijaya. Made Djelantik berpulang 5 September 2007 di usia 88 tahun, di Wings Internasional, RSUP Sanglah, Denpasar.
Hadir sebagai pembicara budayawan I Wayan Juniarta, dr. I Nyoman Sutarsa (dokter, akademisi, pengamat sastra), serta penulis buku Dr. I Nyoman Wijaya. Hadir pula dr. Ayu Bulantrisna Djelantik, turut berbagi pandangan perihal sosok sang ayah.
Acara kerja sama Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan Bulantrisna Djelantik, serta didukung Bentara Budaya Bali Jumat 11 Januari
Tidak hanya membincangkan kisah hidup Djelantik, melainkan pandangan kebudayaan serta sikap kritisnya dalam mengelola kesehatan masyarakat Bali secara holistik melalui pendekatan yang lintas bidang.
Dokter Djelantik, seorang generasi emas Bali. Karakteristik generasinya adalah well-educated dengan metode keilmuan dan sangat konservatif dengan budaya Bali. Jadi secara mindset seperti orang Barat, namun hatinya tetap di Bali.
“Selain itu, keberaniannya melakukan debat publik turut memajukan pemikiran modern di Bali saat itu. Beliau menggabungkan civilization dari Barat dan Bali,“ ungkap Juniarta, Ketua Program Indonesia Ubud Writers and Readers Festival (UWRF).
Djelantik menempuh pendidikan Hollandsch-Inlandsche School/HIS Denpasar, Bali, kemudian ke Meerleetgebreid Langer Orderwijs/MULO Malang, Jawa Timur dan Algemene Middlebare School/AMS Yogyakarta.
Setamat dari AMS tahun 1938, ia nekat berlayar ke Belanda dan lulus dari Gemente Uiversitet Amsterdam, Belanda tahun 1946. Ia adalah orang Bali pertama yang menjadi dokter lulusan luar negeri.
Dalam pandangan Nyoman Wijaya, buku “Bening Embun” bukan saja memuat potongan peristiwa perjalanan Djelantik, namun berisi nilai-nilai hidup yang perlu diteladani dari sosok yang pernah diasingkan oleh Belanda ke Pulau Buru pada tahun 1948 ini.
Kala itu, Ia diasingkan karena dianggap dekat dengan pahlawan I Gusti Ngurah Rai. Selama pengasingan itu, Bulantrisna Djelantik, yang kelak sohor menjadi penari dan koreografer mumpuni, turut serta.
“Kesediaan untuk merendahkan diri, itulah hal yang dididik dalam sosok dr. Djelantik. Dari usia muda beliau telah terbiasa mengalah dari kakaknya. Kesadaran beliau pula yang mendorongnya tetap hormat terhadap saudara-saudaranya,” ungkap Wijaya.
Tahun 1969-1980, Djelantik bertugas sebagai ahli malaria WHO di di Somalia dan Afghanistan.
Keterlibatan Dokter Djelantik dalam upaya eradikasi malaria di Indonesia, Somalia, Irak dan Afganistan adalah wujud pengakuan dunia terhadap kualitas diri Dokter Djelantik, bukan semata-mata kecakapan teknis beliau dalam penanggulangan malaria.
“Dalam konteks ini, tidak berlebihan bila Dokter Djelantik dapat disebut telah berhasil mentransformasi modal sosial dan ekonominya menjadi modal moral sekaligus kultural,“ sebut dr. Sutarsa.
Djelantik mulai lebih tekun menerjuni bidang kebudayaan sewaktu Bulantrisna menjadi penari legong di Peliatan, Ubud, dan intens berdiskusi dengan guru-guru tari terkenal, seperti Biang Sengog, I Kakul, I Maria, dan Wayan Lotring.
Dia kemudian mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar (sekarang ISI Denpasar) dengan mata kuliah Estetika. Ia juga menulis buku ‘Balinese Painting’, melakukan penelitian dengan mendatangi para pelukis Bali –merumuskan pembabakan dalam seni lukis Bali: wayang, lukisan klasik kamasan, periode Pita Maha, dan modern.
Dalam pandangan Prof. Dr. I Made Bandem, sosok Djelantik. “A. A. Djelantik adalah sosok ayah yang membabtisnya menjadi sekarang ini.
“Beliau pernah berkata kepada saya saat bersekolah di Belanda, saat itu beliau menyisihkan uang 1000 dollar dari ayahandanya untuk menyewa kamar sederhana di kapal menuju Belanda, membeli buku, sepeda dan stetoskop,” kenang Bandem.
Bandem melihat, Djelantik memberikan pencerahan untuk kita semua. Bandem, tahun 1981 bersama-sama Djelantik mendirikan Yayasan Walter Spice. (rhm)