![]() |
ilustrasi/net |
Jakarta – Presiden Joko Widodo diminta turun membenahi kinerja Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) jika ingin membesarkan perusahaan negara dan
memandirikan ekonomi bangsa.
Langkah itu dipandang penting menyusul stetemen keras Komisaris Utama Badan
Usaha Milik Negara PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
yang melontarkan pernyataan kontroversial terkait manajemen atau lebih
tepatnya sikap Direksi Pertamina.
Diketahui, beberapa permasalahan disampaikan Ahok berkaitan perilaku direksi
mulai dari melakukan lobi kepada menteri, persoalan gaji para direksi sampai
ke soal perubahan posisi Direksi Pertamina yang tidak diketahuinya.
Ahok menyatakan, direksi tidak pernah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan
dirinya dalam urusan pergantian posisi Direksi. Bahkan, semua Direksi selalu
melakukan lobi langsung ke Menteri, sebagai pemegang hak utama suara dalam
forum tertinggi BUMN, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai Pasal 14
UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Ahok juga mengungkapkan, bahwa selain direksi, komisaris pun rata-rata titipan
dari kementerian-kementerian terkait.
“Pertanyaannya adalah, apakah Ahok juga bukan titipan dari seorang pejabat
tinggi negara yang masuk jajaran Dewan Komisaris,” tukas Ekonom Konstitusi
Defiyan Cori dalam keterangannya, Kamis (17/9/2020).
Disamping mempersoalkan struktur gaji (remunerasi), Ahok sempat menyinggung
soal utang BUMN Pertamina yang sudah berjumlah US$16 Miliar atau setara (kurs
dollar Rp 14.800) Rp 236,8 Triliun.
Ahok menyampaikan, kalau bisa Kementerian BUMN dibubarkan saja dan membangun
superholding semacan Temasek Holdings yang merupakan sebuah perusahaan
investasi Pemerintah Singapura.
Menurut Defiyan, pernyataan-pernyataan Ahok sudah tidak asing lagi bagi
publik, bahkan seperti sudah diskenariokan.
Setidaknya diawali pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi
(Menko MarInves) Luhut Binsar Panjaitan pada tanggal 10 Desember 2019,
bertepatan peringatan HUT Pertamina dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM)
se-dunia.
Luhut bersuara keras dan lantang sebagaimana gayanya seperti biasa, tanpa
tedeng aling-aling, dengan menyampaikan, penunjukan mantan Gubernur DKI itu
menjadi komisaris utama PT Pertamina (Persero), dalam rangka memperbaiki
Pertamina.
Sudah pasti perbaikan adalah suatu misi manajerial yang sudah semestinya
dilakukan oleh semua pihak yang diberikan amanah jabatan publik, sekalipun itu
di BUMN.
Namun pernyataan pejabat negara, serta tidak mungkin tanpa memperhitungkan
data dan fakta yang diperolehnya, menuding Pertamina sebagai sumber kekacauan,
patut dipertanggungjawabkannya.
“Apakah terkait dengan keluhan soal mafia minyak dan gas bumi atau kinerja
Pertamina sebagai BUMN yang tak mampu membenahi sektor hulu migas?,” tanya
Defiyan.
Kinerja manajemen Pertamina mutakhir memang terdapat kerugian senilai US$ 0,77
Miliar, tapi dbandingkan dengan perusahaan asing lainnya rugi yang dialami ini
relatif kecil.
Beberapa perusahaan itu yaitu, ExxonMobil yang mencatatkan kerugian senilai
US$ 1,1 Miliar, British Petroleum US$ 21,21 Miliar, Total perusahaan minyak
Perancis, rugi sejumlah US$ 8,4 Miliar, Shell US$ 18,4 Miliar, Petrobas US$
10,41 Miliar, Chevron US$ 4,7 Miliar, Conoco Phillips US$ 1,43 Miliar, dan ENI
perusahaan minyak Italia merugi sejumlah US$ 8,66 Miliar.
Dari sisi asset atas masing-masing perusahaan juga terdapat perbedaan cukup
mendasar. ExxonMobil misalnya, memiliki aset US$ 361,5 Miliar; British
Petroleum US$ 263,18 Miliar; Total US$ 259,41 Miliar; Shell US$ 375,1 Miliar;
Petrobras US$ 185,38 Miliar; Chevron US$ 223,4 Miliar; ConocoPhilips US$ 63,05
Miliar; ENI US$ 69,5 miliar; dan Pertamina US$ 70,23 Miliar.
Dijelaskan Defiyan, terhadap total aset pun dibandingkan dengan
perusahaan-perusahaan migas dunia lainnya itu menunjukkan bahwa kerugian BUMN
migas Indonesia masih berada di peringkat kedua terendah setelah ExxonMobil.
Rasio kerugian Pertamina terhadap aset yang dimiliki adalah 0,011 persen,
sedangkan ExxonMobil 0,003 persen. Sementara itu, rasio kerugian terhadap
total aset terbesar dialami ENI yang mencapai 0,125 persen.
Pertamina mengalami kerugian di semester I 2020 karena adanya penurunan
konsumsi BBM akibat pandemi Covid-19. Merosotnya konsumsi tersebut menyebabkan
pendapatan dari sektor hilir berkurang 25 persen dibandingkan periode yang
sama pada tahun lalu.
Kata Defiyan, Ahok dan Erick Tohir sebagai Menteri BUMN juga harus memahami,
bahwa sejak pemerintahan Orde Baru dan dalam aturan per-Undang-Undangan yang
lebih mendukung BUMN Pertamina visi perusahaan negara, yaitu dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan
Gas Bumi Negara yang memberikan kewenangan cukup besar kepada Pertamina dalam
mengusahakan minyak dan gas bumi di Indonesia.
Yakni, mulai hak penguasaan eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan,
hingga pengangkutan dan penjualan serta dapat menjadi solusi untuk
membangkitkan kembali Pertamina sebagai perusahaan migas terbesar.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah entitias ekonomi dan bisnis yang
dibentuk oleh negara dengan latar belakang sejarah panjang perjuangan
kemerdekaan melawan kolonialisme yang didahului penguasaan ekonomi oleh swasta
(asing) melalui korporasi VOC atau Kapitalisme.
Berdasar alasan itulah, semestinya semua pemangku kepentingan (stakeholders)
dan publik harus memahami betul tugas pokok dan fungsi BUMN ini dalam konteks
logis sejarah kolonialisme ini dan adanya perintah konstitusi, UUD 1945 pasal
33 ayat 1, 2 dan 3.
Bahwa, BUMN yang merupakan penguasaan negara di sektor ekonomi dan bisnis ini
tidak saja merupakan sebuah korporasi dengan tujuan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya, dan untuk memperluas cakupan ruang gerak bisnis perusahaan
BUMN ansich.
Melainkan juga dari keuntungan yang duperoleh tersebut adalah untuk memberikan
pelayanan publik serta kemakmuran bagi semua orang, bukan hanya orang per
orang sebagaimana pemegang saham pada korporasi swasta.
Kinerja Pertamina tidak perlu diragukan dalam situasi dan kondisi yang normal
dengan perolehan laba yang terus menerus dihasilkannya.
Pada Tahun 2019, Pertamina memperoleh laba bersih sebesar US$2,53 Miliar atau
setara Rp 35,8 Triliun, dan pada Tahun 2018, Pertamina juga membukukan laba
sebesar US$ 2,53 Miliar atau setara Rp 35,99 Triliun.
Sementara, laba Pertamina Tahun 2017 dibukukan sejumlah US$ 2,54 Miliar (kurs
US$1 r= Rp 14.000), dan perseroan berhasil mencatatkan laba bersih pada Tahun
2016 sebesar US$3,15 Miliar atau Rp 42 Triliun (dengan kurs Rp 13.344 per
dollar AS).
Bahkan, saati anjloknya harga minyak dunia sepanjang Tahun 2014, PT Pertamina
(Persero) masih mampu mencetak laba bersih senilai US$ 1,42 Miliar atau setara
Rp 18,9 Triliun (estimasi kurs Rp 13.500 per dolar AS) pada periode 2015 serta
menyetor dividen ke negara senilai Rp 6,8 Triliun.
Lalu, bagaimana usaha dan upaya atau solusi yang dilakukan oleh Ahok sebagai
Komut Pertamina, Erick Tohir yang menjabat Menteri BUMN serta Luhut Binsar
Panjaitan yang mengkoordinir keduanya sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi
atas keluhan beban utang yang berpengaruh pada kerugian yang dialami oleh
Pertamina?
Termasuk adanya pengaruh kinerja perseroan atas pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun
2009 tentang Migas, UU Nomor 19 Tahun 2003, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara yang tidak akomodatif dan dengan beban penugasan yang tidak
ringan diberikan oleh pemerintah dibanding korporasi swasta yang tidak terikat
berbagai ketentuan rigid organisasi dan hanya terkena beban pajak serta CSR
secara terbatas?
Sebagai pejabat negara, seharusnya mereka bertiga menjadi bagian dari
penyelesaian (solusi) terkait pelaksanaan tanggungjawab UU organisasi yang
tidak ringan oleh BUMN yangmana beban tersebut tidak dipikul oleh korporasi
swasta dan asing.
Jelas, apabila BUMN tetap terikat pada UU yang masih berlaku, realitas faktual
akan terus menunjukkan posisi BUMN dan terutama Pertamina selalu dalam kondisi
beban lebih berat mencapai kinerja terbaik.
“Apalagi ditambah oleh adanya intervensi politik dalam penetapan harga jual
produk atau jasa yang tidak bisa serta merta sesuai dengan iklim usaha yang
sedang terjadi ditengah pasar minyak dunia. Tidak bisa merubah harga
sewaktu-waktu, saat harga produk lain dianggap terpengaruh oleh harga BBM,”
sambungnya.
Walaupun begitu, permasalahan aturan yang dihadapi tersebut, justru dijawab
oleh Pertamina dengan berkorban untuk kepentingan masyarakat dan negara secara
luas.
Ditengah masa pandemi covid 19, Pertamina juga turut serta membantu pemerintah
dengan total bantuan berjumlah Rp250 Miliar, yang disalurkan ke berbagai
bentuk bantuan, di antaranya Alat Pelindung Diri (APD) dan perlengkapan lain
untuk tenaga medis di berbagai rumah sakit rujukan COVID-19 di berbagai
daerah.
Pertamina juga melakukan renovasi fasilitas dan alat kesehatan di rumah sakit
rujukan COVID-19 dengan total biaya mencapai Rp 130 Miliar. Selain itu,
memberikan 230.000 unit rapid test yang diprioritaskan untuk rumah sakit dan
klinik Pertamina di seluruh Indonesia.
Pertamina juga rutin menyetorkan dividen sebagai bagian laba yang diperoleh
secara periodik ke kas negara pada Tahun 2019 sejumlah Rp 181,5 Triliun.
Bahkan, dan ini lebih tidak bisa diterima akal sehat, yaitu Pertamina yang
notabene perusahaan milik negara harus membayarkan bonus tanda tangan
(signature bonus) kepada pemerintah untuk mendapatkan blok-blok terminasi.
Pertamina sudah melunasi sudah melunasi bonus tanda tangan (signature bonus)
pengelolaan Blok Rokan sebesar US$ 784 juta. Pembayaran bonus tanda tangan
dilakukan pada 21 Desember 2018 lalu.
Termasuk pengelolaan Blok Mahakam pasca-2017 dengan pembayaran signature bonus
dari PT Pertamina (Persero) kepada negara, yang besarnya mencapai US$ 41 juta.
Pertanyaannya adalah, apa prioritas mendesak (urgent) dalam pembenahan
kelembagaan BUMN sesuai dengan perintah atau mandat konstitusi ekonomi Pasal
33 UUD 1945, terutama pada frasa USAHA BERSAMA berdasar kekeluargaan atas
penguasaan cabang-cabang produksi yang penting dari kekayaan sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya serta menguasai hajat hidup orang banyak yang
sudah dikerjakan Luhut Binsar Panjaitan, Erick Tohir dan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok?
Jangan sampai publik mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya mereka sumber
kekacauan di BUMN, khususnya Pertamina itu.
“Presiden harus segera turun tangan membenahi apa yang telah disampaikan Ahok
terkait dengan persoalan kinerja BUMN yang terkait dengan kebijakan
restrukturisasi organisasi dan manajemen BUMN tersebut jika memang bertujuan
memandirikan ekonomi bangsa dan membesarkan perusahaan negara,” tandas
Defiyan.
Termasuk cara restrukturisasi pengelolaan BUMN yang dilakukan oleh Erick Tohir
melalui penawaran saham perdana kepada publik (Initial Public Offering),
khususnya pada anak-anak perusahaan Pertamina apakah sejalan dengan konstitusi
ekonomi UUD 1945 dan tidak akan menjadi sumber kekacauan baru sebagaimana IPO
BUMN terdahulu?
Sebagaimana pengalaman IPO yang dialami oleh BUMN bidang perbankan dan
keuangan, Garuda Indonesia, Semen Indonesia dan lain-lain yang justru semakin
memperburuk kinerjanya dan tidak memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat atau hanya untuk sekelompok orang pemegang sahamnya saja.
Oleh karena itu, lanjut Defiyan, terkait pernyataan Ahok melalui akun
pribadinya Senin 14 September 2020 mengenai bobroknya Pertamina, dan
pernyataan Luhut Binsar Panjaitan bahwa Pertamina sumber kekacauan serta cara
Erick Tohir membenahi BUMN, adalah juga permasalahan mereka bertiga.
(rhm)