Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono (kanan) dan Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Arfi Bambani Amri (foto:Viva). |
Kabarnusa.com – Pemerintah didesak segera menetapkan upah sektoral pekerja media dengan memperhatikan karakteristik industri media yang tengah berkembang pesat di tengah tren konvergensi media.
Hal itu disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan harapan perusahaan media meningkatkan kesejahteraan jurnalis.
“Kami juga meminta adanya standar kontrak kerja yang jelas terhadap kontributor, koresponden atau freelance, sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka,” tegas Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono, dalam keterangan tertulisnya, Kamis 30 April 2015.
Selain itu, AJI menyerukan perusahaan media agar mematuhi ketentuan pemerintah terkait iuran pensiun yang harus dibayar ke BPJS Ketenagakerjaan per 1 Juli 2015.
Perusahaan media menyertakan jurnalis dalam program jaminan sosial tanpa menurunkan fasilitas dasar yang telah diterima jurnalis di masing-masing perusahaan media.
Rilis berisi “Pernyataan Sikap” AJI itu, membuktikan AJI turut dalam barisan buruh di aksi serentak May Day 1 Mei 2015 di seluruh Indonesia.
“Perbaikan kesejahteraan pekerja termasuk jurnalis adalah bagian dari perjuangan AJI untuk menjaga kebebasan pers dan independensi ruang redaksi,” sambung Suwarjono diamini Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Arfi Bambani Amri.
Dia melanjutkan, jika dahulu ancaman kebebasan pers dilakukan oleh negara, kini AJI melihat ancaman terhadap kebebasan pers justru dari dalam industri media itu sendiri.
Posisi tawar jurnalis yang buruk karena tidak berserikat membuat pemilik media semena-mena dalam hal kesejahteraan jurnalis atau pekerja media secara umum.
Industri media yang berkembang pesat juga tak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis.
Belum lagi tren konvergensi media membuat beban kerja jurnalis dan pekerja media semakin bertambah, namun dalam hal kesejahteraan jalan di tempat.
“Jurnalis jadi gampang disetir pemilik media karena posisinya yang lemah,” jelas pria asal Yogyakarta itu.
Abainya perusahaan media terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja, sambungnya lagi, mendorong AJI Indonesia bersama dengan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen beserta sejumlah serikat pekerja dari beberapa perusahaan media membentuk Forum Pekerja Media.
Forum menyoroti rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja media dan kebutuhan akan perlunya ditetapkan upah minimum sektor media.
Diketahui, anggota AJI yang lebih dari 40 berstatus pekerja tidak tetap, menemukan sebagian besar dari mereka menerima penghasilan jauh di bawah ketentuan upah minimum regional yang berlaku di masing-masing provinsi.
Jurnalis juga dihadapkan pada ketidakpastian atas jaminan sosial. Kata Jono, program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terkait ketenagakerjaan yang akan berlaku pada 1 Juli 2015, berpotensi mengurangi fasilitas yang sudah diberikan selama ini oleh perusahaan media.
AJI juga menyoroti belum terwujudnya kesetaraan hak antara jurnalis perempuan di setiap perusahaan media.
Masih ada perbedaan dalam pemberian tunjangan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga jurnalis perempuan dibandingkan jurnalis laki-laki. Selain itu, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan cuti haid atau fasilitas laktasi bagi pekerja perempuan yang masih menyusui anak.
“Karena itu, AJI menyerukan kepada seluruh perusahaan media di Indonesia agar menerapkan sistem pengupahan dan pemberian tunjangan yang setara tanpa diskriminasi terhadap jurnalis perempuan. Selamat Hari Buruh Internasional, May Day 2105,” tukasnya. (ali)