AJI: Upah Layak Wartawan Jakarta Rp 8,3 Juta, Banyak di Bawah UMP

27 Maret 2021, 11:43 WIB

ilustrasi/Dok.Aji

Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta AJI Jakarta
menetapkan upah layak jurnalis merujuk kepada perhitungan Kebutuhan Hidup
Layak per bulan di Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2020 dan
disesuaikan dengan kebutuhan jurnalis pada masa pandemi.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan pemutusan hubungan kerja di kalangan pekerja
media meningkat.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, pada awal 2021,
ada tiga perusahaan media memutuskan hubungan ketenagakerjaan dengan dalih
efisiensi dan penghentian operasional.

Bahkam, ada satu perusahaan merumahkan sebagian karyawannya dengan konsekuensi
pemotongan gaji hingga 50 persen.

Sebelumnya, pada Maret-Desember 2020 posko pengaduan ketenagakerjaan AJI
Jakarta dan LBH Pers menerima 150 pengaduan ketenagakerjaan di perusahaan
media. Jenis pengaduan ketenagakerjaan yang diterima antara lain pemotongan
upah hingga pemutusan hubungan kerja.

Dengan kondisi tersebut mendasari AJI Jakarta melakukan survei upah riil dan
upah layak jurnalis. Survei dilakukan pada Januari-Februari 2021 dengan metode
kuesioner daring.

Lebih dari 100 responden yang terkumpul, ada 97 responden tervalidasi (51
persen responden perempuan, 47,42 persen responden laki-laki dan 1 persen
responden tidak menyebutkan jenis kelamin). Sebanyak 93,8 % responden mengaku
belum mendapatkan upah layak.

Tidak hanya di bawah upah layak, AJI Jakarta bahkan menemukan upah yang masih
di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebanyak 10 responden.

Sebagaimana diketahui UMP DKI Jakarta pada 202Kami menetapkan kebutuhan upah
layak bagi jurnalis Jakarta tahun ini sebesar Rp8.366.220. 1 adalah sebesar Rp
4.416.186.

Lantas berapa upah layak jurnalis pada 2021? AJI Jakarta dalam menetapkan upah
layak jurnalis merujuk kepada perhitungan Kebutuhan Hidup Layak per bulan di
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2020 dan disesuaikan dengan
kebutuhan jurnalis pada masa pandemi.

“Kami menetapkan kebutuhan upah layak bagi jurnalis Jakarta tahun ini sebesar
Rp8.366.220. Dengan catatan, ada 10 persen dana simpanan dari kebutuhan hidup
per bulan,” kata Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Taufiqurrohman,
dalam diskusi daring ‘Upah Layak Jurnalis 2021, Cek!!!, Jumat (26/3/2021).

Menanggapi survei upah jurnalis 2021 yang dilakukan AJI Jakarta, Ketua Komisi
Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya menjadikannya catatan
serius lantaran berbeda jauh dengan UMP DKI Jakarta.

Agung memandang persoalan itu berkaitan dengan modal dan badan hukum, termasuk
upah layak, sebagaimana tertuang di UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketidaklayakan upah berpotensi melahirkan sikap korupsi di kalangan wartawan.

“Orang tidak mendapatkan upah layak, siapapun, sementara tanggungannya banyak,
maka kecenderungan untuk berbuat korupsi itu ada,” ujar Agung.

Kondisi tersebut berimplikasi terhadap banyaknya pengaduan etik kepada Dewan
Pers karena kualitas pemberitaan rendah. Padahal, Dewan Pers telah
mengeluarkan aturan terkait Standar Perusahaan Pers.

Tak hanya kualitas pemberitaan, penyelewengan kerja jurnalistik karena
persoalan kesejahteraan di perusahaan juga berdampak kepada jurnalis menjadi
tidak profesional.

“Ada jurnalis yang menerima ‘amplop’ dari narasumber. Salah satu imbasnya,
citra wartawan,” kata Agung.

Rupanya ini yang menyebabkan generalisasi ‘wartawan buruk’ di mata publik,
padahal tidak semua wartawan menerima pemberian lembaga atau individu
tertentu, masih ada jurnalis yang independen dan profesional.

Kata Agung, berkelindan dengan pagebluk Covid-19, perusahaan media semestinya
dapat transparan kepada para pegawainya. Perusahaan media harus terbuka ketika
kondisinya sedang sulit.

Diskusi antara pengusaha dan pekerja, kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan
Hukum Pers Ade Wahyudin, jadi salah satu cara meredam kekisruhan
ketenagakerjaan.

“Ketika memang ada pemasukan kurang, merugi, ini harus dibicarakan. Kalau
perusahaan akan melakukan pengurangan maka harus disepakati oleh perusahaan
dan pekerja terlebih dulu,” kata Ade.

Ade mengingatkan pekerja media yang haknya dilanggar agar tidak diam dan
segera membentuk serikat. Pandemi Covid-19 juga berdampak kepada pola dan cara
kerja, serta kondisi ekonomi pekerja media, namun produktivitas tak berkurang.

Menyedihkan lagi, karena alasan pengiklan menurun maka perusahaan harus
me-PHK, merumahkan, dan mengurangi gaji karyawan.

“Ini tiga pilihan yang terjadi selama pandemi,” tutur Ketua Bidang
Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Endah Lismartini.
Ketidakmampuan perusahaan dalam masa pandemi, mengakibatkan para pekerja media
termasuk pihak yang rentan kesehatan, keselamatan, dan keamanannya.

Alasan efisiensi kadang tak disertai dengan forum negosiasi dua kubu. Hal ini
menyulitkan para pekerja dan akhirnya mereka harus menerima keputusan sepihak.
Kadang Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja jadi tameng perusahaan di balik
vonisnya.

Ketua Umum Serikat Pekerja Indopos Indra Bonaparte mengkritik lemahnya tugas
dan fungsi Dinas Tenaga Kerja. Dia meminta agar unit pengawasan tertib
mengerjakan kewajibannya dan masih ada perusahaan yang tidak menerapkan
Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan benar.

“Pengawas harus lebih ketat mengawasi para pengusaha yang melanggar,”
tandasnya. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini