yayasan swara-swiri |
BADUNG – Anak yang mengalami gangguan pendengaran seperti tuna rungu oleh masyarakat masih dianggap sebagai aib keluarga. Padahal, harusnya mereka dibangkitkan semangatnya dan dilatih sejak dini untuk menggunakan alat dan fungsi pendengarannya.
Memiliki anak berkebutuhan khusus, membutuhkan kesabaran luar biasa bagi orang tua. Berbagi pengalaman selain menyadarkan betapa mereka tidak sendiri juga bisa memperkaya pengalaman dan cara-cara yang efektif dalam merawat membimbing anak berkebutuhan khusus seperti tuna rungu.
Hal ini yang mendasari Yayasan Swara Swari Bali, dengan mengumpulkan orang tua dan anak-anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan yang dikemas Family Gathering selama dua hari di Puri Bendesa Villas Ungasan, Kabupaten Badung.
Kegiatan berlangsung 1-2 November 2011 ini menggandeng Yayasan Kowela yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Juga hadir pakar Telinga Hidung Tenggorokan (THT) dr Eka Putra Setiawan dan Program Studi PSikologi Fakultas Kedokteran Unud.
Menurut dr Eka Putra, banyak faktor penyebab lahirnya gangguan pendengaran pada anak mulai karena virus, lingkungan hingga keturunan. Memang, tidak mudah mengembalikan fungsi pendengaran pada anak karena butuh perjuangan dan kesabaran ekstra.
Untuk itu, penting bagi orang tua mendeteksi dini guna mengetahui apakah anak mereka mengalami gangguan pendengaran, sehingga bisa diambil langkah tepat untuk penanganannya. Banyak orang tua, memilih jalan memanfaatkan alat bantu dengar ataupun implan untuk memfungsikan kembali alat pendengaran anak.
“Menggunakan alat bantu dengar sejak kecil, memang jauh memberikan hasil yang baik dalam melatih memaksikan fungsi-fungsi alat dengarnya ketimbang sudah remaja atau besar,” sambung dokter THT di RSUP Sanglah itu.
Keberhasilan mengembalikan fungsi pendengaran anak, sangat ditentukan sikap orang tua dan masyarakat dalam memandang anak berkebutuhan khusus. Eka menyarakankan, bagi orang tua yang memiliki anak tuna rungu menyadari sejak awal kondisinya, akan lebih baik sehingga penanganan atau perawatannya bisa dilakukan secara efektif dan bisa membawa hasil yang maksimal.
Yang menyedihkan, kata dia, masih banyak anggapan masyarakat bahwa memiliki anak yang mengalami gangguan pendengaran hingga penyakit cureg atau kolok, sebagai aib bagi keluarga. Tentu saja, sikap itu akan melemahkan si anak dan membuatnya terpuruk sulit untuk bisa hidup di dunia nyata, karena merasa dirinya beban keluarga.
Mestinya, mereka ini harus mendapat dorongan luar biasa kuatnya dari keluarga terdekat untuk menghadapi hidup bukan malah sebaliknya menganggap aib. Di pihak lain, masih keluarga yang justru memanjakan anak-anak mereka yang mengalami gangguan pendengaran.
Mereka tidak tegas dan disiplin terhadap anak-anaknya sehingga menghambat upaya mengembalikan fungsi pendengaran anak. (rma)