Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori menilai melambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya kontribusi beberapa sektor atas pertumbuhan ekonomi yang mengarah nanti pada lemahnya daya beli konsumen perlahan terbukti.
Pendekatan evaluasi kinerja sistem ekonomi kapitalisme yang selalu dipakai otoritas moneter berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada bulan Agustus 2017 keseluruhan sektor menunjukkan mengalami penurunan kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi Triwulan II walau faktanya ada peningkatan dibandingkan triwulan I Tahun 2017 tapi tak lebih baik jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi Triwulan II Tahun 2016 yang sebesar 5,18%.
Hasil buruk kinerja ekonomi makro justru ditunjukkan pada bulan Agustus 2017 dengan tingkat deflasi sebesar 0,07 persen yang masih disebut oleh Menteri Keuangan sebagai inflasi yang rendah.
Sebuah pernyataan aneh bahwa deflasi disamakan dengan inflasi yang rendah entah dengan maksud dan tujuan apa, sementara Kepala Bappenas justru mempertanyakan kinerja makro ekonomi ini yang menyebutnya sebagai sesuatu yang aneh.
Kinerja buruk makro ekonomi bulan ini tak bisa dielakkan atau dinafikkan begitu saja oleh Menteri Keuangan bahwa ekonomi makro sedang berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan tak bisa menyangkal dengan membangun optimisme semu.
Dengan logika itu pulalah, kinerja perekonomian Indonesia sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo belum menunjukkan keadaan membaik, apalagi prestasi seperti yang pernah dijanjikan akan mengalami peningkatan pesat (istilah Presiden meroket) pada bulan September sampai Desember 2015 tidak terbukti.
Jika melihat capaian pertumbuhan ekonomi berdasar data BPS pada Triwulan II 2017 (April-Juni) yang sebesar 5,01% hampir tak menunjukkan kontribusi dan berarti apapun bagi angka kemiskinan, permasalahan ketimpangan ekonomi, apalagi kesejahteraan masyarakat karena seluruh sektor menurun kontribusinya, walau sektor konsumsi masih lebih baik dibanding yang lain.
Angka deflasi pada bulan Agustus 2017 juga lebih besar dibandingkan dengan deflasi yang terjadi pada bulan Agustus Tahun 2016 yang sebesar 0,02 persen.
Dengan data dan fakta ini, maka dengan cara apalagi tim ekonomi Kabinet Kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo akan mengelak buruknya kinerja? Secara teoritis, deflasi terjadi karena adanya penurunan harga-harga barang dan jasa, dan mestinya penurunan harga ini akan diikuti oleh respon perilaku konsumen yang akan membeli barang dan jasa yang lebih banyak.
Sebab hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) secara teoritik menyatakan hal seperti itu, faktanya justru penurunan harga barang dan jasa di pasar malah mengakibatkan penurunan sektor kontributif atas pertumbuhan ekonomi.
Dengan kata lain, penurunan daya beli memang sedang terjadi dan dialami oleh masyarakat konsumen. Jika hal ini terus berlangsung (data statistik menunjukkan telah terjadi sejak 2015) maka penerimaan negara dari semua sektor akan mengalami penurunan, terutama penerimaan pajak.
Lebih jauh adalah, pemerintah bahkan tidak punya kemampuan dalam membiayai belanja rutin penyelenggara negara.
Sebaiknya tim ekonomi kabinet menyampaikan data dan fakta yang terjadi ini secara obyektif dan memberikan langkah-langkah taktis dan strategis kepada Presiden dan masyarakat apa yang harus segera dilakukan.
Membangkitkan optimisme untuk terus membangun negeri adalah hal yang baik, tetapi realistis atas fakta dan keadaan yang dihadapi juga perlu dilakukan supaya stabilitas ekonomi politik tetap terjaga dengan baik.
Langkah pertama yang mesti dan mendesak dilakukan adalah merasionalisasikan prioritas sektor pembangunan infrastruktur strategis nasional serta program dan kegiatan kementerian/lembaga yang tumpang tindih.
Perlambatan ekonomi dan penurunan harga barang dan jasa tanpa ditindaklanjuti oleh pembelian barang dan jasa dimaksud jelas akan mengalami penurunan penjualan bagi produsen.
Dan, apabila modal kerja para produsen berasal dari utang bank, maka akan berdampak pada tingkat kredit bermasalah. Semoga hal ini menjadi perhatian Presiden. (rhm)