Yogyakarta – Bencana banjir bandang yang melanda sebagian wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada pertengahan September 2025 menjadi sorotan para ahli.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang kesiapan tata ruang, kondisi lingkungan, dan ketahanan masyarakat dalam menghadapi cuaca ekstrem.
Guru Besar Geomorfologi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Djati Mardiatno, menjelaskan, banjir ini dipicu oleh hujan ekstrem dengan curah lebih dari 300 mm dalam sehari.
Namun, faktor yang memperburuk kondisi adalah berkurangnya tutupan lahan di daerah terdampak.
Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada meresap ke dalam tanah.
“Aliran permukaan yang besar inilah yang memicu banjir bandang,” ujar Djati.
Menurutnya, solusi jangka panjang yang diperlukan adalah perbaikan tata ruang dan penambahan ruang terbuka hijau.
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya serap tanah terhadap air hujan.
Selain itu, pembatasan alih fungsi hutan dan pembersihan saluran sungai juga menjadi kunci untuk menjaga fungsi drainase tetap optimal.
Senada dengan Djati, pakar perencanaan kota dari Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Bakti Setiawan, menambahkan, banjir tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga akibat lemahnya pengendalian tata ruang dan pembangunan.
“Ada faktor eksternal berupa perubahan iklim, tapi ada juga faktor internal yaitu tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkendali,” kata Bakti.
Ia menekankan bahwa strategi penanganan banjir ke depan harus fokus pada pengurangan risiko bencana.
Ini mencakup penataan ruang yang adaptif terhadap potensi bencana serta penguatan ketahanan sosial masyarakat melalui penguatan social capital.
Kedua pakar ini sepakat, sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan menyiapkan rencana darurat dan menegakkan aturan tata ruang.
Akademisi berperan dalam penelitian dan edukasi, sementara masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan.
Prof. Djati menyimpulkan bahwa bencana bukan hanya akibat alam, melainkan cara manusia mengelola ruang hidup. “Jika ruang dikelola dengan bijak, risiko bencana bisa ditekan,” pungkasnya. ***