![]() |
Antropolog I Ngurah Suryawan/istimewa |
DENPASAR – Kelompok-kelompok masyarakat yang selalu gelisah terus mempertanyakan dan tidak dikekang diperlukan untuk bisa memandang Bali secara jernih dan menjaga keberlangsungannya di masa mendatang ditengah gempuran arus modernitas.
Antropolog I Ngurah Suryawan mengungkapkan, penting bagi anak-anak muda Bali untuk bisa lebih reflektif terhadap perjalanan panjang masyarakat dan budaya Bali.
“Saya memutuskan ke Papua, hanya karena ingin tahu dunia saya ini bukan hanya Bali,” ujarnya saat bedah buku bertajuk “Mencari Bali yang Berubah” terbitan Penerbit Basa Basi (2018), pada program Pustaka Bentara, di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, bypass Ketewel, Sukawati, Gianyar, Sabtu 12 Januari 2019.
Suryawan menegaskan, menjadi penting bagi masyarakat di republik ini, untuk belajar menjadi orang lain. Agar horizon pemikiran sebagai manusia lebih luas, agar kita tidak lagi diadu domba, tidak lagi tersekat-sekat.
“Karena itulah persoalan kita saat ini,” kata Suryawan menegaskan. Karena itu, dia berusaha meriset daerah-daerah Bali Kuno dan melihat satu kekosongan studi teks tentang Bali.
Banyak yang berkutat pada data empiris kontemporer, fenomena kekinian, Bali Baru, tetapi lupa, teks Bali kuno menyimpan pengetahuan luar biasa. Teks Bali kuno itu perlu dipelajari agar masyarakat punya fondasi yang kuat.
“Mari saling menginspirasi, saling bertukar ide dan gagasan. Karena Bali memerlukan kelompok-kelompok yang gelisah dan kelompok terus mencari. Dan itu tidak akan dikekang apapun,” ajak Suryawan.
Ia berharap, buku ini bisa menjadi titik berangkatnya untuk bisa lebih mendalami lagi soal Bali. Karena setelah 2010 mulai meriset tentang Papua, dan praktis ikatan emosi dengan Bali tidak ada sama sekali.
“Jadi saya merasa harus memelihara ikatan emosi saya dengan Bali,” ucapnya. Buku “Mencari Bali yang Berubah” terdiri dari delapan bab yang bagian awal atau versi awalnya telah diterbitkan dalam buku atau artikel jurnal.
Keseluruhan bab dalam buku ini dibingkai oleh sebuah tema besar tentang politik kebudayaan Bali. Cikal bakalnya adalah sebuah imajinasi tentang Bali, yang menurut Suryawan, dibangun berdasarkan konstruksi (bentukan) yang sangat kolonialistik.
Tampil sebagai pembahas yakni penulis Oka Rusmini dan sastrawan sekaligus akademisi Kadek Sonia Piscayanti.
Diskusi dihadiri pula sejumlah tokoh dan pemerhati kebudayaan Bali, antara lain: dr. Ayu Bulantrisna Djelantik, Gde Aryantha Soethama, Abu Bakar, budawayan asal Prancis yang lama bermukim di Bali, Jean Couteau, hingga Konsul Kehormatan Italia di Denpasar, Pino Cofessa.
Sebagaimana pendapat Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku, kajian Suryawan perihal dinamika sosial kultural Bali modern bermuara pada dua gugusan besar. Pertama adalah golongan yang selalu bimbang pada kelangsungan Bali, yang meyakni Bali akan redup, bahkan pada akhirnya tinggal sejarah.
Gugus kedua adalah mereka yang selalu yakin Bali akan tetap Bali. Mereka optimis perubahan-perubahan yang terjadi di Bali cuma permukaan saja, tidak menyentuh inti.
Bali diyakini memiliki benteng sosial kultural yang tangguh, ketaatan warganya pada tradisi memperteguh keyakinan itu. Nada optimis ini sejalan dengan keyakinan bahwa masyarakat Bali akan sanggup beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Diketahui, I Ngurah Suryawan merupakan alumnus Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali (2006) dan menyelesaikan Magister di Program Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana (2009).
Pendidikan Doktor diselesaikan di Program Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2015) dan memulai penelitian pascadoktoral dari tahun 2016-2017 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP (Endangered Languages Documentation Programme) dan Australian National University (ANU). (rhm)