Denpasar – Banjir yang melanda Denpasar, Jembrana, dan Gianyar pada 10 September 2025 tidak hanya merusak rumah dan fasilitas umum, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi pemilik kendaraan bermotor.
Banyak mobil dan motor yang hanyut atau rusak parah akibat terendam banjir, padahal sebagian besar kendaraan tersebut masih dalam status kredit di perusahaan pembiayaan atau leasing.
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali (YLPKB), I Putu Armaya, SH., MH., pihaknya telah menerima banyak pengaduan dari warga.
Mereka kini menghadapi beban ganda: kehilangan kendaraan sebagai aset dan alat transportasi, namun masih dibebani kewajiban membayar cicilan bulanan.
“Konsumen menghadapi beban ganda. Kerugian ini terjadi bukan karena kelalaian mereka, tetapi akibat bencana alam (force majeure),” kata Armaya.
Ia menjelaskan, banyak pengaduan datang dari konsumen yang mobilnya terendam hingga mengalami kerusakan berat, seperti pada mesin, kelistrikan, dan interior.
Perbaikan yang memakan biaya besar sering kali membuat kendaraan tidak layak pakai lagi. Hal ini juga berdampak pada mata pencaharian, terutama bagi pengguna motor yang sehari-hari bekerja sebagai ojek online, pedagang, atau pekerja harian.
“Hilangnya motor sama artinya dengan hilangnya mata pencaharian,” ujar Armaya.
Mendorong Relaksasi Kredit bagi Korban Banjir
Armaya menegaskan bahwa perusahaan pembiayaan atau leasing harus memberikan perlakuan adil dan tidak merugikan konsumen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ia mendesak agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat segera mengambil langkah.
Pihaknya akan mengirim surat kepada OJK agar mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan pembiayaan memberikan relaksasi kredit bagi konsumen terdampak banjir.
Kebijakan ini dapat mencontoh kebijakan restrukturisasi kredit saat pandemi Covid-19, seperti yang tertuang dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020.
“Pemerintah, melalui OJK, dapat mengeluarkan aturan yang mewajibkan perusahaan leasing untuk memberikan relaksasi,” ujar Armaya. Bentuk relaksasi yang diusulkan antara lain:
Penundaan pembayaran cicilan (grace period).
Perpanjangan jangka waktu kredit (tenor).
Keringanan bunga atau denda.
Skema restrukturisasi lainnya yang meringankan konsumen.
Armaya menambahkan, secara hukum, hal ini sangat beralasan. Ia merujuk pada KUHPerdata Pasal 1244 dan 1245 yang mengatur tentang force majeure (keadaan kahar).
Bencana alam seperti banjir merupakan keadaan di luar kemampuan konsumen, sehingga mereka tidak dapat disalahkan atas kerusakan atau kehilangan kendaraan.
“Kebijakan ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga menjadi bukti kehadiran negara dalam melindungi masyarakat yang menjadi korban bencana alam,” pungkas Armaya, berharap para korban banjir di Bali bisa bernapas lega. ***