Begini Cara Penyair Mamandang Kehidupan

3 April 2015, 07:20 WIB
54penangkar%2Bbekisar

Oleh: Aan Rismayanti

Kata orangtua kita, sebaik-baiknya awal pekerjaan adalah berdoa. Maka, sebelum saya bekerja, saya menyebut, nama Tuhan yang maha benar, semoga buku puisi ini kalau toko buku, tidak ditaruh oleh penjaganya di rak buku kategori Peternakan atau Agribisnis. Sebab, sering penjaga toko buku Togamas, Gramedia maupun Gunung Agung keliru menaruh buku. Padahal kategori sudah dicantumkan di sampul belakang buku, tepatnya di bawah ISBN.

Setelah berdoa, saya kembali berdoa lagi, semoga puisi yang mampu membuka matahati umat manusia yang sekarang sudah sering hilang rasa akibat kebiasaan menjadi robot. Terutama manusia-manusia yang hidup di kota sekarang ini, tak banyak yang masih bisa menjaga diri menjadi manusia seutuhnya. Kebanyakan sudah hilang identitasnya berganti menjadi robot, atau bahkan hanya menjadi sekrup dari mesin besar kapitalisme.

Kiki Sulistyo penyair kelahiran Ampenan, Lombok, melalui buku ini tak bermaksud menasehati atau mendakwahi manusia modern. Tetapi kehadiran hati dan pikirannya yang masih mengikat diri pada dunia-dunia natural murni; bergaul dengan alam, lingkungan hidup yang masih natural, dan masih bahkan masih mau berhubungan dengan hewan dan lain, menjadikan kita mengerti tentang pentingnya makna hati nurani bagi kehidupan.

Hati yang lunak dan pikiran yang terbuka atas keadaan sekitar membuat kita merasa masih perlu untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia; bukan menjadi budak dari ambisi pribadi, bukan pula budak modernisasi, tak juga budak kapitalisme.

Realitas  hidup seperti “Tikungan” (hlm 56). Hati pejantan yang haus tualang, berhasrat pada tantangan/hendak menaklukkan setiap gunung untuk membuka kampong/ di depan aku kau bagai binatang bimbang yang takut pada kematian…..

Penggalan sajak itu memberi makna tentang subjek bernama manusia yang hidup terikat dengan dunia ambisi, selalu ingin menantang kehidupan dan menaklukkannya. Manusia seakan-akan identik dengan keberanian untuk menciptakan dan membuka lembar-lembar hidup yang baru, tetapi sekaligus pada akhirnya akan sadar tentang kematian itu sesuatu yang menakutkan.

Penyair Kiki Sulistyo adalah sosok penyair yang perlu bersyukur karena suara-suara batinnya kini bisa dibaca banyak orang. Buku diterbitkan dalam jumlah banyak dan menghujam masuk ke masyarakat diperkotaan. Tentu ini akan menjadi oase yang baik bagi orang-orang kota yang semakin sulit menerima jalan pikir hidup hening, teduh, dan selalu memperhatikan keseimbangan sekaligus peduli ekologi.

Sisi lain dari buku ini yang menarik adalah, bahwa tentang manusia sebagai subjek yang berhubungan dengan masa lalu jalan pikir Kiki yang maju dan bukan berhenti pada romantisme kolokan. Tentang masa lalu yang biasanya, terutama oleh para penyair dijadikan sesuatu yang agung sehingga masa kini dipandang buruk dan masa depan dipandang berkabut,

Kiki punya pikiran lain. Masa lalu merupakan bagian hidup yang penting pada diri manusia. Karena itu sejarah atau kenangan, merupakan ingatan hanya bisa dibangun sebagai kebaruan untuk mengisi relung-relung hampa dan celah-celah kosong yang dibingkai oleh pengalaman indrawi di masa kini. Maka, tampaknya, karena interioritas realitas ini begitu jenuh sedangkan eksterioritasnya tidak terjangkau, puisi Kiki Sulistyo menemukan tempat di ambang; di ranah periferal..

Kiki yang hidup dengan masyarakat di Lombok bukan hanya penyair, melainkan juga bagian dari komunitas kehidupan warga. Ia mendirikan dan mengelola Komunitas Akarpohon, sebuah komunitas yang menggerakkan penerbitan buku, kelas menulis, dokumentasi seni, dan diskusi berkala. Bersama keluarga dia bermukim di Bakarti, suatu dusun kecil di wilayah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Buku berjudul “Penangkar Bekisar” ini bukan sebaiknya tak harus disebut buku puisi atau sastra semata, –yang biasanya tak menarik perhatian masyarakat kita. Akan lebih baik jika buku ini kita dudukkan juga sebagai buku wisdom, atau kitab kebijaksanaan yang boleh dibaca siapa saja yang ingin punya cara pandang lain dalam melihat realitas kehidupan masa kini. (sumber:katakini}

Judul: Penangkar Bekisar 

Penulis: Kiki Sulistyo

Pengantar: Ari J. Adipurwadidjana

Penerbit: Nuansa Cendekia

Tahun: I April 2015
– See more at: http://www.katakini.com/berita-cara-lain-penyair-memandang-hidup.html#sthash.p6JZ5alH.dpuf

Berita Lainnya

Terkini