Belajar dari Pengungsi Gunung Agung, Perlu Alternatif Pendidikan Darurat

15 November 2017, 11:55 WIB

DENPASAR – Semua pihak mulai perlu memikirkan bagaimana alternatif pendidikan bagi anak-anak sekolah dalam situasi darurat sebagaimana dialami para pengungsi Gunung Agung di Kabupaten Karangasem Bali.

Usai penetapan status Awas Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali, pada 22 September 2017, menyebabkan ratusan ribu masyarakat dari wilayah sekitar gunung harus mengungsi.

Yang terjadi, tanpa persiapan matang dan bekal seadanya, banyak warga yang kemudian harus merasakan kepedihan di lokasi pengungsian. Kendati pemerintah dan warga menyumbang mereka namun kondisi tersebut tidak dapat menutupi kekacauan kondisi di pengungsian.

Anak-anak, terutama, paling terdampak dari pengungsian itu mulai psikologisnya hingga proses belajar menjadi kacau. Pemerintah tak siap mengkoordinir situasi itu. Mereka selama 38 hari, mengungsi. sejak 29 Oktober hingga saat ini di mana status Gunung Agung diturunkan menjadi Siaga.

“Mungkin menjadi menarik jika berkumpul bersama, bertukar pikiran bagaimana kekacauan pendidikan anak-anak pengungsi ini tak terulang di masa datang jika status gunung kembali Awas atau benar-benar erupsi,” ujar. Ayu Sulistyowati jurnalis Kompas yang turut ambil bagian dalam workshop dan diskusi.

Selain Ayu, Gede Sugiharta dari IDEP Foundation dan Roberto dari Green Hand Free School Aceh akan berbagi pengalaman saat mereka menggagas sekolah di Aceh paska bencana tsunami. Ada pula pemutaran film karya Gede Sugiharta.

Ada juga pameran karya-karya cukil kayu dari anak-anak dan remaja pengungsi Gunung Agung, hasil pendampingan Gusti Ayu Mirah dan Komunitas Jamur, serta Manikayakauci Relief Disaster, dan sket-sket peliputan Gunung Agung oleh jurnalis senior Ayu. (gek)

Berita Lainnya

Terkini