![]() |
Maskapai Garuda Indonesia/dok.Kabarnusa |
Jakarta – Perubahan dalam mengelola BUMN harus dilakukan secara lebih
profesional dan mengurangi mutasi dan rotasi atau pemberhentian tanpa alasan
yang jelas dan sesuka hati (like and dislike), termasuk intervensi politis.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyatakan hal itu menanggapi kepemimpinan
Irfan Setiaputra setelah lebih dari setahun menjabat sebagai Direktur Utama
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Garuda Indonesia menggantikan I Gusti
Ngurah Askhara Danadiputra atau dikenal dengan Ari Askhara.
Terlepas dari kasus yang membelitnya, semasa Ari Ashkara sebenarnya dari
penilaian kinerja manajerial justru melakukan perbaikan cukup baik pada
perusahaan negara ini.
Ari Askhara dicopot dari jabatannya karena terkait dengan permasalahan hukum
(belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) skandal
penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton di dalam pesawat
Garuda.
Menurut Defiyan, dengan melihat kenyataan pencopotan pimpinan BUMN yang sesuka
hati ini, meskipun Pasal 14 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
memberikan kewenangan (diskresi) sangat besar pada sosok Menteri BUMN, maka
perlu kiranya dipertimbangkan hal-hal mendasar dalam sebuah organisasi dan
manajemen yang mengelola usaha atau bisnis untuk kepentingan orang banyak,
paling tidak diantaranya adalah, rekam jejak dan kompetensi.
“Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), memang memberikan ruang waktu tanpa batas
untuk melakukan penggantian pimpinan atau Direksi dan Komisaris BUMN, bahkan
dengan istilah Luar Biasa (RUPSLB) Menteri BUMN bisa setiap saat mencopot
jajaran Dewan Manajemen BUMN,” tukasnya, Sabtu (13/2/2021).
Posisi seperti “digantung” inilah yang terkadang membuat tidak aman, bebas dan
nyaman para sosok pimpinan BUMN yang diminta untuk memenuhi sasaran (target)
kinerja perusahaan negara yang telah ditetapkan.
Karenanya, perlu perubahan dalam mengelola BUMN secara lebih profesional dan
mengurangi mutasi dan rotasi atau pemberhentian tanpa alasan yang jelas dan
sesuka hati (like and dislike), termasuk intervensi politis.
Berdasarkan pada data kinerja manajemen keuangan Garuda Indonesia dengan
mengambil kasus semasa dipiloti Ari Askhara dan Irfan Setiaputra, maka dapat
diperbandingkan secara berhadap-hadapan (apple to apple).
Dimasa kepemimpinan Ari Askhara, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
mencatatkan laba bersih sebesar US$6,98 Juta pada pembukuan Tahun 2019,
berbalik dari posisi rugi pada Tahun 2018 sebesar US$231,15 Juta.
Pada era Irfan Setiaputra, justru terjadi penurunan kinerja manajemen
disebabkan oleh pendapatan usaha Garuda yang anjlok, hanya US$ 1,13 Miliar
per-September 2020.
Pandemi Covid-19 yang sedang dialami Indonesia membuat kinerja PT Garuda
Indonesia Tbk (kode BEI: GIAA) makin terpuruk.
Maskapai penerbangan milik negara tersebut harus menanggung kerugian senilai
US$ 1,07 Miliar atau setara Rp 15,34 Triliun hingga Triwulan III 2020 (asumsi
kurs: Rp 14.280 per dolar).
Berdasarkan laporan keuangan Garuda yang dirilis melalui keterbukaan
informasi, pada Kamis 5 Nopember 2020, kinerja Kuartal III Tahun 2020 ini
berbanding terbalik dengan capaian laba (profit) pada periode yang sama tahun
lalu (2019).
Garuda saat itu mampu meraih laba bersih US$ 122,42 Juta atau Rp 1,74 Triliun.
Bahkan seolah ingin mengalihkan isu kinerja ini, Menteri BUMN Erick Thohir
justru mengangkat masalah kontrak 12 pesawat dengan pihak Bombardier CRJ 1.000
yang digunakan PT Garuda Indonesia dengan mengakhiri kontrak sewa operasi
(operating lease) dengan Nordic Aviation Capital (NAC) yang sebetulnya masih
akan jatuh tempo tahun 2027 mendatang.
Apakah memang benar ini permasalahan utama Garuda Indonesia sehingga
berkinerja buruk, jangan sampai ibarat pepatah, “memercik air didulang
terpercik muka sendiri”.
Melihat kondisi keuangan yang buruk ini, tentu saja tidak bisa diarahkan
pertanggungjawabannya hanya pada Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia,
tetapi harus dibebankan juga pada penanggungjawab RUPS, yaitu Menteri BUMN.
“Tentu saja mengganti Dirut Garuda Indonesia menjadi sebuah keharusan
manajerial, tetapi menseleksi secara cermat dan tepat sesuai rekam jejak
(track record) dan kompetensi sosok penggantinya jauh lebih penting,” demikian
Defiyan. (rhm)