Benarkah Reshuffle Kabinet untuk Kepentingan Visi Presiden Jokowi?

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah melakukan perombakan (reshuffle) kabinetnya sejumlah 6 (enam) kali dan ini merupakan Presiden RI dengan frekuensi terbanyak melakukannya di era reformasi.

16 Juni 2022, 09:42 WIB

Semenjak memegang tampuk kepemimpinan nasional pada tanggal 20 Oktober 2014, tercatat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah melakukan perombakan (reshuffle) kabinetnya sejumlah 6 (enam) kali dan ini merupakan Presiden RI dengan frekuensi terbanyak melakukannya di era reformasi.

Istilah reshuffle ini sebenarnya bukanlah terminologi yang berasal dari Indonesia atau tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang dapat dilihat pada Cambridge Dictionary (Kamus Cambridge, Inggris).

Istilah reshuffle sendiri sering kali digunakan untuk merujuk pada suatu peristiwa ketika posisi orang atau hal dalam kelompok atau organisasi mengalami perubahan.

Maksud dari reshuffle sejatinya adalah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang berkaitan dengan partai pemenang pemilihan umum atau sasaran (target) tertentu yang diinginkan dengan cara melakukan pergantian pada seluruh atau sebagian pos menteri.

Benarkah atas tujuan ini Presiden Jokowi melantik dua menteri dan tiga Wakil Menteri baru pada Hari Rabu tanggal 15 Juni 2022 dan tidak akan ada visi Menteri dalam pemerintahan kabinet Indonesia Maju serta tidak berdampak pada pencapaian visi Presiden sejak memimpin Republik Indonesia Tahun 2014 lalu?

Kabinet Partai Politik
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2014-2019 telah mengingatkan dan kembali menyampaikannya pada periode kepemimpinan keduanya, 2019-2024 bahwa menteri tidak boleh memiliki visi dan misi sendiri dalam menjalankan tugasnya. Semua pembantu Presiden harus bekerja dengan mengacu kepada Visi Misi yang telah ditetapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden (Wapres).

Presiden Jokowi menegaskan itu kembali dalam Sidang Kabinet Paripurna pertama bersama para menteri dan sejumlah petinggi lembaga negara lainnya di Istana Merdeka, Jakarta, pada Hari Kamis 24 Oktober 2019.

Mungkinkah dengan alasan tidak sejalannya Visi atau menyimpangnya tugas pokok dan fungsi menteri tertentu, kemudian Presiden melantik Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi, dan melantik mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggantikan Sofyan Djalil.

Selain itu, untuk wakil menteri Presiden juga melantik Raja Juli Antoni yang merupakan Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggantikan Surya Tjandra, John Wempi Wetipo sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) dan Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker).

Melalui reshuffle kabinet ini, jelas komposisi anggota kabinet antara sosok profesional dan kader atau terkait dengan partai politik (parpol) jumlahnya mengalami perubahan.

Masuknya PAN dan PBB menambah “gemuk” jajaran kabinet dengan sebutan koalisi pemerintahan yang berasal dari fungsionaris atau kader parpol disamping yang telah bergabung sejak awal, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, PSI dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang menempatkan anak Ketua Umumnya Angela Tanoesoedibjo sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) dengan Menteri Sandiaga Uno yang merupakan kader Gerindra.

Dengan komposisi hasil reshuffle tersebut, maka jumlah Menteri dan Wakil Menteri yang merupakan kader parpol dikabinet Indonesia Maju berjumlah 26 orang, terdiri dari 19 orang Menteri dan 7 orang Wakil Menteri.

Sedangkan yang betul-betul berasal dari kalangan teknokrat, birokrat-militer, akademisi dan profesional hanya 9 orang saja. Pertanyaannya, apa benar kabinet akan memikirkan dan bekerja untuk kepentingan seluruh masyarakat dan mendukung Visi dan Janji kampanye Presiden Joko Widodo?

Disamping itu, sebenarnya kelembagaan apa dalam kabinet atau pemerintah yang memiliki kewenangan memastikan bahwa Visi dan Janji Politik Presiden Joko Widodo dapat dicapai sesuai sasaran dan tujuannya?

Sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dahulu merupakan lembaga pemikir perencanaan dan juga alokasi anggaran pembangunan negara juga ditempati oleh Suharso Monoarfa yang sekaligus juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Selama berlangsungnya masa kampanye, calon Presiden Joko Widodo dan calon Wakil Presiden Jusuf Kalla kala itu menyampaikan janji-janji kepada masyarakat Indonesia, sedikitnya ada 54 janji yang diutarakan oleh pasangan pemenang Pilpres Tahun 2014 ini.

Slogan Tol Laut dan berbagai macam kartu untuk membantu tercapainya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat adalah jargon yang paling populer. Lalu, bagaimana pencapaian Visi dan Janji Politik Presiden yang tertuang dalam Trisakti dan Nawacita pada periode kedua masa jabatannya dengan masa efektif hanya kurang dari 2 (dua) tahun kepemimpinannya? Jawabannya adalah, sangat naif mengharapkan akan terjadi berbagai perbaikan dan perubahan mendasar atas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin ini secara logis, faktual dan konstitusional dengan begitu banyaknya para pembantu Presiden yang berasal dari partai politik.

Oleh karena itu, ketidakefektifan dan ketidakefisienan organisasi-manajemen pemerintahan sebagai bagian dari sistem presidensiil menjadi tanggungjawab para ahli hukum tata negara yang membiarkan terjadinya praktek parlementeria kabinet ini, sehingga hak prerogatif Presiden tidak leluasa ditegakkan.

Fakta penempatan anggota kabinet yang berasal dari fungsionaris parpol jelas membuktikan adanya proses transaksional antara kepentingan elite pendukung pemerintahan yang mayoritas juga mendominasi keanggotaan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Benarkah Kabinet Kerja dan Indonesia Maju secara konstitusional disebut kabinet Presidensiil?

Dalam bidang hukum konstitusi sesuai UUD 1945, Pasal 14 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan, bahwa hak prerogatif adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan atau penguasa negara, baik kepada seseorang maupun sekelompok orang. Hak prerogatif presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan suatu tindakan demi kepentingan bersama.

Pemberian hak prerogatif bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan dibuka sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu, publik harus meminta pertanggungjawaban para ahli tata negara yang telah membiarkan terjadinya penyimpangan pelaksanaan substansi dari sistem presidensiil terhadap hak prerogatif Presiden yang tersandera oleh kepentingan partai politik pendukung pemerintahan berpotensi merugikan kepentingan pencapaian Visi dan Janji Presiden untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Bahkan, tindak lanjut janji Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan proses transaksional dalam penyusunan portofolio dan anggota kabinet ramping menjadi menguap begitu saja. ***

Ekonom Konstitusi , Defiyan Cori, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Berita Lainnya

Terkini