Yogyakarta – Bank Indonesia (BI) akan memulai uji coba sistem Payment ID pada 17 Agustus 2025. Sistem ini dirancang untuk menjadi identitas digital tunggal berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan seseorang dalam satu ekosistem.
Hal ini bertujuan untuk memodernisasi sistem transaksi keuangan nasional.
Menanggapi kebijakan tersebut, Dosen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Susilo Nur Aji Cokro Darsono, menilai bahwa sistem ini adalah bagian dari langkah strategis pemerintah untuk mendorong efisiensi, transparansi, dan pengawasan sistem keuangan.
“Payment ID ini menjawab kebutuhan interoperabilitas dan financial profiling. Banyak persoalan dalam pengajuan kredit dan pengawasan pajak disebabkan oleh transaksi yang tidak tercatat, sehingga lembaga keuangan kesulitan menilai kemampuan bayar seseorang secara akurat,” ujar Susilo pada Selasa (12/8/2025).
Menurut Susilo, sistem ini juga dapat meningkatkan efektivitas penyaluran bantuan sosial agar lebih tepat sasaran. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini bagaikan ‘pisau bermata dua’. Ia menyoroti potensi risiko pelanggaran privasi dan perlindungan data pribadi masyarakat jika tidak diatur dengan baik.
Perlindungan Data dan Kesenjangan Digital Jadi Sorotan
Susilo menekankan pentingnya pengelolaan data yang transparan, memberikan kontrol penuh kepada pengguna, dan mengedepankan akuntabilitas.
Ia juga mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022 sebagai acuan utama dalam implementasi sistem ini.
Selain itu, Susilo menyoroti potensi kesenjangan digital atau financial data divide yang bisa terjadi. Sistem ini dinilai berpotensi menyulitkan kelompok masyarakat dengan akses digital yang rendah, seperti pekerja informal, warga di daerah terpencil, dan lansia.
“Kalau tidak dirancang secara inklusif, sistem ini justru bisa memperbesar ketimpangan digital. Oleh karena itu, perlu pendekatan berbasis human-centered design yang mempertimbangkan seluruh lapisan masyarakat,” imbuhnya.
Partisipasi Publik Jadi Kunci
Susilo mendorong pemerintah untuk membangun mekanisme audit algoritma yang independen dan melibatkan berbagai pihak seperti akademisi, LSM, dan masyarakat sipil.
“Masyarakat juga harus proaktif mencari informasi dan menyampaikan masukan selama masa uji coba berlangsung hingga 2029. Ini adalah momen penting untuk membentuk sistem yang adil, aman, dan inklusif,” tuturnya.
Terakhir, Susilo juga menekankan pentingnya edukasi publik secara masif. Menurutnya, transparansi dan keterlibatan publik merupakan kunci keberhasilan kebijakan berbasis teknologi.
“Sistem ini bukan untuk mengawasi, melainkan meningkatkan efisiensi dan keamanan keuangan. Data masyarakat hanya dapat diakses jika diperlukan dan harus melalui otorisasi dari Bank Indonesia serta persetujuan pemilik data,” pungkasnya. ***