![]() |
Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti saat menjadi pembicara di Universitas Udayana, Denpasar |
DENPASAR – Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti didaulat menjadi pembicara di even Pra Sarasehan Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) Ke-14 di Gedung Agrokomplek Universitas Udayana, Rabu (15/11/2017)
Di acara yang dihadiri para delegasi yang terdiri dari dosen, alumni, maupun mahasiswa dari 18 universitas di Indonesia yang mengusung thema “Masyarakat Harmonis dalam Bingkai Kearifan Lokal” itu, Bupati Eka mengangkat isu Kebhinekaan dan Toleransi di Indonesia.
Menurut Bupati Eka, kebhinekaan dan toleransi, merupakan isu itu penting untuk diangkat kembali mengingat situasi bangsa belakangan ini yang dirongrong intoleransi bahkan mengancam kebhinekaan yang menjadi dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Padahal, kebhinnekaan dan keberagaman tersebut justru menjadi modal bangsa kita untuk berbuat lebih maju lagi. Karena dari perbedaan itulah, kita banyak belajar untuk memahami,” katanya
Pentingnya belajar dari perbedaan yang lahir di Indonesia itu dianalogikan oleh Bupati Eka dengan kedua kaki maupun tangan manusia. Sekalipun sepintas sama, anggota tubuh manusia tersebut tidaklah sama persis atau simetris.
“Tangan dan kaki kita, kiri maupun kanan tidaklah sama seratus persen. Terus, kalau sudah beda seperti itu apa harus dipotong? Dari perumpamaan ini kita mesti belajar memahami perbedaan itu.
Jangan berpikir, saya beda, kamu beda, kita akhirnya tidak bersaudara, tidak berteman, atau musuhan. Justru perbedaan itu merupakan kesempatan kita untuk belajar saling memahami,” tegasnya.
Terkait hal itu, sebagai generasi penerus yang merdeka semestinya bisa menjadikan perbedaan dan multikultur sebagai modal besar bagi bangsa Indonesia untuk maju.
Menurut Bupati Eka, hal itu juga yang melatarbelakangi dirinya sebagai kepala daerah untuk membuat program-program yang menyentuh semua komunitas masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama, atau golongan sebagai upaya menerjemahkan Pancasila yang telah dibidani kelahirannya oleh presiden pertama sekaligus founding father Indonesia, Bung Karno.
“Saya berusaha memposisikan diri sebagai kepala daerah bagi siapa saja. Apa pun suku, agama, ras dan golongannya, saya berusaha mengedepankan sisi kemanusiaan,” katanya seraya menyampaikan rasa syukur karena upaya tersebut telah menuai apresiasi dari sejumlah pihak seperti Kementerian Agama RI yang memberikan Harmony Award serta Bali Democration Forum (BDF) yang menjadikan Kabupaten Tabanan sebagai salah satu daerah yang berusaha merawat toleransi dan keberagaman.
Pada kesempatan tersebut, Bupati Eka berharap keberagaman yang ada di Indonesia selayaknya disyukuri, bukan diperdebatkan meskipun ada tantangan berat merawat toleransi saat ini yakni proses demokrasi yang terkadang tidak sehat.
“Yang saya amati belakangan ini adalah proses demokrasi yang tidak sehat sampai-sampai mempolitisir agama. Saya berharap adik-adik mahasiswa lebih hati-hati menanggapi tiap isu. Harus matang mencerna informasi. Harus bisa memfilter,” pesannya.
Bupati Eka juga mengajak kalangan akademisi untuk mengedepankan sisi kemanusiaan dan welas asih kepada sesama manusia, menjaga kerukunan, menghindari sikap egosentris dan mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan.
“Kalau sudah bersatu kita sebagai bangsa tidak akan kalah,” pungkasnya. (gus)