Catatan Defiyan: Kepemilikan Saham 51 Persen Untungkan Freeport

17 Juli 2018, 07:54 WIB
Ekonom konstitusi Defiyan Cori

Melalui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) per 12 Juli 2018, Pemerintah telah menandatangani Head Of Agreement (HOA) dengan pihak PT. Freeport. Peristiwa ini begitu menggelora diberitakan oleh media massa bahwa dinyatakan Pemerintah sejak tahun 1967 memulai KK dengan Freeport disebut telah berhasl mengambil alih kembali tambang di Tembagapura, Provinsi Papua itu.

Jelas sekali bahwa euphoria (kegembiraan berlebihan) ini adalah sesuatu yang absurd atas fakta Kontrak Karya sekalipun yang menjadi dasar pengelolaan lahan tambang itu oleh Freeport selain 9,36 persen saham sudah dimiliki Indonesia sejak dulu. Info ini bisa menyimpangkan substansi KK, bahwa tanah dan lahan tambang itu sejatinya memang milik Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan milik korporasi Freeport, KK yang dipegang pihak Freeport itu adalah bukti hukum bahwa mereka sedang mengontrak bukan memiliki apalagi menguasainya.

Konsolidasi BUMN

Pemerintah memang harus mengkonsolidasikan unit usaha-unit usaha (business unit) BUMN yang bergerak di sektor pertambangan sebagai industri strategis untuk memperoleh kembali penguasaan saham PT. Freeport lebih besar dari sebelumnya melalui Head of Agreement (HOA). Melalui penguasaan atau penyerahan lebih dari separuh saham PT. Freeport ini diharapkan perusahaan BUMN akan semakin tangguh dan kuat menghadapi persaingan dengan perusahaan atau korporasi swasta dan asing yang bergerak dalam industri sejenis. Tentu saja upaya ini harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan rakyat Indonesia, sebab ini merupakan gerakan koordinasi BUMN untuk semakin menyatu sesuai dengan bentuk negara kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tahapan penyerahan saham 51 persen oleh PT. Freeport kepada BUMN Inalum telah dilakukan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan Menteri BUMN, dan diantaranya 10 persen diberikan kepada Pemda Papua. Apa dasar Kementerian ESDM menerima percepatan skema penguasaan saham 51 persen tersebut, sementara Kontrak Karya berakhir Tahun 2021? Yang artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak mengambil alih 100 persen pengelolaan tambang di Tembagapura, Provinsi Papua itu.

Melalui Kementerian BUMN, Pemerintah harus memanfaatkan momentum pengambilalihan lahan tambang yang masih menyisakan 3 (tiga) tahun pengelolaannya oleh pihak Freeport dengan menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan, seperti melakukan SWOT analysis, melakukan penilaian konsolidatif atas nilai buku asset Freeport (termasuk depresiasi dan amortisasi), bahkan menghadapi kemungkinan langkah arbitrase yang akan dilakukan Freeport jika tak menerima keputusan Pemerintah.

Akhiri Kontrak

Langkah terbaik bagi Indonesia adalah menyelesaikan Kontrak Karya habis dan kemudian mengambil alihnya (take over) lahan tambang di Tembagapura tersebut. Apalagi sejak 3 (tiga) tahun terakhir nilai saham Freeport sudah anjlok, malah justru isu penguasaan 51 persen saham itu “membantu” pihak PT. Freeport untuk menaikkan nilai sahamnya. Namun anehnya, justru negara melalui BUMN Inalum yang berutang dalam melakukan penguasaan saham PT. Freeport. Mengapa tidak Freeport yang berutang, lalu baru memberikan bahagian sahamnya? Terlebih lagi, porsi saham 51 persen itu atau separuh yang diperoleh Inalum itu hanya akan memperoleh imbal balik lewat pembagian laba dan lain-lain terbatas sampai tahun 2041. Sementara, apabila pasca 2021 saat berakhirnya Kontrak Karya, maka negara akan memperoleh penguasaan penuh 100 persen.

Selanjutnya, terkait kasus perpanjangan Kontrak Karya PT. Freeport ini pada Tahun 1991, maka pemerintah harus meminta pertanggungjawaban Menteri Pertambangan dan Energi masa itu, yaitu Ginandjar Kartasamita.

Apabila posisi Negara telah terlanjur tidak begitu kuat dalam posisi ini, maka sebaiknya 51 persen yang akan didivestasikan melalui utang itu tidaklah tepat dibebankan pada Negara, dalam hal ini BUMN Inalum, walaupun sejatinya posisi tawar perpanjangan ini posisi tawar pemerintah relatif kuatdalam negosiasi ini. Hanya saja pemerintah harus melepaskan motif berburu rente dari pihak-pihak tertentu dan demi kepentingan kekuasaan di pemilu 2019 yang berjangka pendek dengan mengabaikan kepentingan kemandirian ekonomi bangsa dan serta seluruh rakyat Indonesia.

Dalam konteks perpanjangan Kontrak Karya dan divestasi saham PT Freeport ini justru sebenarnya 4 (empat) Menteri itu sedang menjerumuskan Presiden. Kita semua berharap Presiden memahami soal ini, jangan sampai publik menduga Presiden juga turut “menikmati” utang untuk divestasi 51 persen itu?

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Berita Lainnya

Terkini