![]() |
ilusstrasi/pgn.co.id |
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyampaikan
kepada publik, bahwa investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas) sampai
dengan semester I-2020 hanya mencapai US$ 5,6 Miliar (Rp 81,65 Triliun dengan
kurs Rp 14.581,86/US$).
Nilai tersebut masih jauh dari sasaran (target) yang telah ditetapkan, yaitu
US$ 14,5 Miliar (Rp 211,38 Triliun) hanya dapat direalisasikan sebesar 35,7
persen saja atau tidak sampai separuh dari sasaran.
Selain itu, Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) telah memproyeksikan
realisasi investasi hulu migas Tahun 2020 sejumlah US$ 11,60 Miliar. Nilai ini
lagi-lagi juga jauh di bawah sasaran (target) yang ditetapkan SKK Migas, yaitu
US$ 13,83 Miliar.
Sedangkan realisasi sampai dengan semester I-2020, SKK Migas menyampaikan,
bahwa investasi hulu migas baru mencapai US$ 4,7 Miliar atau 34% dari sasaran
(target) Tahun 2020.
Alasan dari melesetnya realisasi semua itu tak lepas dari faktor harga minyak
dan gas bumi, termasuk pandemi Covid-19 yang berdampak ke sektor hulu migas.
Pembangunan Hilir Migas
Tampaknya industri hulu migas sedang mengalami kondisi yang tidak kondusif
bagi perkembangan ketahanan energi (apalagi kedaulatan energi) nasional dan
bisa mempersulit posisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kebanggaan anak bangsa
(Negeri) PT. Pertamina dalam memenuhi pasokan migas dalam negeri yang masih
kekurangan sejumlah 805 ribu barel per hari (bopd) dari jumlah konsumsi BBM
nasional sejumlah 1,3 juta barel per hari. Atau hanya 59% yang bisa dipenuhi
oleh produksi dalam negeri, sedangkan sisanya harus melakukan impor.
Produksi dari kilang yang sejumlah 885 ribu bopd tidak akan menghasilkan
semuanya produk yang punya nilai, dan yang bernilai hanya sekitar 680 ribu
barel produk, produknya gasoline, gasoil, avtur dan lain-lain
Apabila diperinci, investasi hulu migas baru mencapai US$ 4,8 Miliar (Rp 69,98
Triliun), sedangkan investasi hilir US$ 712 Juta (Rp 10,38 Triliun).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial pernah
menyampaikan dalam konferensi pers secara virtual pada tanggal 5 Agustus 2020,
bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada investasi migas di
Indonesia, melainkan juga negara-negara lain di dunia.
Salah satu imbasnya adalah perusahaan migas memangkas belanja modal (capital
expenditure).
Bahkan, dari sisi penerimaan migas, setelah ada revisi APBN Tahun 2020
sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, realisasi penerimaan migas
hanya 74% dari sasaran (target) Rp 56,41 Triliun.
Lalu, lifting migas 755 ribu BOPD turun menjadi 705 ribu BOPD, kinerja hulu
migas betul-betul memprihatinkan.
Padahal, menurut Kementerian ESDM, pihaknya telah berupaya menggenjot
investasi migas, dengan mengeluarkan kebijakan (regulasi) terkait kontrak
migas ke depan, dan rencana lelang wilayah kerja (WK) migas konvensional,
namun tetap tidak mencapai hasil optimal.
Dengan kondisi yang tidak kondusif di hulu migas ini, maka perlu dilakukan
upaya-upaya terobosan dalam investasi di hilir migas yang masih berpotensi
menghasilkan penerimaan negara dan memperbesar harta (asset) BUMN Pertamina.
Upaya usaha bersama melalui sinergi BUMN dan atau dengan pihak swasta dalam
membangun depo Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG sebagaimana halnya kerjasama
pemerintah dalam membangun jalan berbayar (toll) selayaknya dapat ditempuh
mengatasi keterjangkauan dan kecepatan serta ketepatan waktu pelayanan.
Apabila BUMN Pertamina bersama dengan BUMN lain ataupun pihak swasta dapat
bersinergi dalam pembangunan depo bbm dan elpiji melalui skema
bangun-operasikan dan alih kelola (Build Operate Transfer/BOT) dipastikan akan
membantu Pertamina bekerja secara efektif dan efisien melayani konsumen
masyarakat Indonesia.
Selain itu, dana pembangunannya tidak berasal dari sumber Pertamina, malah ada
manfaatnya dengan bertambahnya harta (asset) atau infrastrukturnya.
Dan, sudah seharusnya pembangunan depo bbm dan elpiji bisa dilakukan di
berbagai daerah Indonesia atau setidaknya tersebar di setiap kabupaten/kota.
Langkah ini akan menguntungkan PT Pertamina (Persero), sebab pada Tahun 2019
peenjualan BBM tercatat sejumlah 51,31 juta kilo liter (KL).
Jumlah ini naik 3,40 persen dibandingkan periode Tahun 2018, dengan perincian,
penjualan LPG ekuivalen 13,75 juta KL, Petrokimia 3,15 juta KL, BBM untuk
pesawat 5,82 juta KL dan BBM untuk Industri 13,96 juta KL.
Dari penjualan seluruh produk Pertamina seperti BBM ritel, industri, dan
aviasi serta LPG dan Petrokimia, secara total konsolidasi mencapai ekuivalen
87,98 Juta KL pada Tahun 2019.
Sementara itu, selama Tahun 2019, persediaan (stock) bahan bakar yang dikelola
oleh Pertamina yaitu, jenis Premium tercatat rata-rata 20 hari, solar 22 hari,
avtur 32 hari, bahan bakar khusus (BBK) 10 hari, dan LPG 16 hari.
Dengan berbagai capaian tersebut, Pertamina tetap mampu mencatatkan laba
bersih pada Tahun 2019 sebesar US$2,53 Miliar atau setara Rp35,8 Triliun.
Pertamina pun mampu memberikan setoran dividen tunai sebesar Rp8,5 Triliun
kepada Negara.
Oleh karena itu, untuk memperbesar kemampuan persediaan (stock) BBM dan LPG
dalam melayani kebutuhan di dalam negeri oleh BUMN Pertamina, maka pembangunan
depo menjadi sebuah keniscayaan.
Tentu saja kajian kelayakan pembangunan depo BBM dan LPG itu harus dilakukan
dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi dan non-ekonomi serta tetap
dalam kerangka penegakkan ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). (*)
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta