![]() |
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori |
Publik dikejutkan oleh demonstrasi mantan Awak Mobil Tangki (AMT) atau sopir mobil tangki yang dipekerjakan berdasarkan kontrak oleh perusahaan mitra Pertamina di depan istana negara pada tanggal 9 Januari 2019.
Demonstrasi itu tidak hanya salah alamat, tetapi juga salah kaprah karena persoalan hubungan kerja kontraktual mereka telah selesai dengan Pertamina, di satu sisi.
Sementara di sisi yang lain, permasalahan mantan sopir tangki yang menuntut untuk ditetapkan sebagai karyawan Pertamina juga mengada-ada dan cenderung dipolitisasi, karena mereka bukanlah karyawan yang berkontrak kerja langsung dengan Pertamina, BUMN yang bergerak di sektor minyak dan gas ini, tetapi adalah karyawan perusahaan lain yang bekerjasama dengan Pertamina untuk tenaga sopir tangki.
Jadi, jika ingin menuntut menjadi karyawan tetap, maka lebih tepat diajukan ke perusahaan yang dahulu merekrut mereka untuk dipekerjakan sebagai sopir tangki.
Demo mantan sopir tangki Pertamina ini tidak saja telah mengganggu ketertiban umum, namun juga telah mem faith accomply Pertamina sebagai BUMN yang abai mengelola karyawannya dan sama saja mempermalukan Direktur Utama Pertamina dihadapan Presiden yang baru saja memberikan amanah.
Beban Presiden dan Negara
Dari kasus demonstrasi mantan AMT kontrakan Pertamina yang berasal dari perusahaan rekanan ini, diharapkan adanya langkah-langkah perbaikan dalam menata hubungan pekerja dan manajemen dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk yang berkaitan dengan tenaga kerja waktu tertentu (outsourcing) yang merupakan kerjasama antara perusahaan penerima kontrak kerja dengan perusahaan pemberi kerja pada perusahaan lain (rekanan).
Untuk itu, maka mendesak dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pertamina secara umum sudah tak ada kaitannya lagi dan tak sesuai Undang-Undang dan peraturan ketenagakerjaan lainnya jika memenuhi tuntutan mantan AMT Pertamina ini, sebab permasalahannya adalah pemutusan hubungan kontraktual mereka dengan perusahaan rekanan yang tidak diperpanjang dengan alasan kualifikasi dan kinerja berdasarkan kriteria perusahaan mitra Pertamina.
Kedua, Tuntutan mantan AMT kontrakan Pertamina yang rencananya akan diterima oleh Presiden adalah tidak tepat sasaran dan seyogyanya urusan hak-hak pekerja ini adalah kewenangan dari Kementerian Ketenagakerjaan. Terlalu berat beban yang dihadapkan pada Presiden, apabila permasalahan teknis manajerial ini harus diselesaikan di istana.
Ketiga, Menuntut pada Kementerian Ketenagakerjaan agar lebih responsif (cepat tanggap) dalam setiap permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja sehingga sebagai pembantu Presiden jelas menjalankan tugas pokok dan fungsi yang diemban.
Menyerahkan penyelesaian kasus AMT kontrakan Pertamina ini kepada Presiden adalah wujud dari ketiadaan tanggungjawab Menteri Tenaga Kerja dan sebuah kinerja yang buruk secara manajerial dan politis.
Keempat, Meminta Kementerian Ketenagakerjaan sebagai wakil Pemerintah bersama DPR segera menyelesaikan reevisi dan menetapkan UU tentang Ketenagakerjaan yang baru (untuk memperjelas berbagai tugas, posisi dan fungsi karyawan kontraktual) sebagai pengganti UU No. 13 Tahun 2003 dalam hubungan industrial yang berlandaskan pada Pancasila dan Konstitusi pasal 33 UUD 1945
Kelima, Pertamina dalam hal hubungan ketenagakerjaan dengan mantan AMT kontrakan ini tak bertanggungjawab dalam memenuhi tuntutan mereka, apabila dipenuhi justru melanggar ketentuan penerimaan karyawan tetap yang berlaku umum, serta yang lebih utama adalah akan menggerogoti keuangan BUMN tersebut, yang saat ini butuh pendanaan sangat besar memenuhi janji Trisakti dan Nawacita Presiden.
Keenam, Publik meminta kepada Presiden untuk tetap berpegang teguh pada peraturan dan per-Undang-Undangan Ketenagakerjaan yang berlaku dan sebaiknya mengabaikan tuntutan para mantan AMT kontrakan Pertamina tersebut, yang mungkin perlu bagi Presiden dalam menerima kedatangan mereka adalah sebagai kesempatan untuk dapat mempertanyakan motif mereka untuk mengetahui sumber permasalahan disinformasi berkaitan dengan demonstrasi mantan AMT Pertamina yang mempunyai kontrak dengan perusahaan rekanan ini sehingga menimbulkan opini publik yang buruk atas citra Pertamina dan Presiden yang akan berkontestasi (memasuki masa kampanye dan debat Capres tahap ke-2) dalam Pemilhan Presiden Tahun 2019.
Tidaklah pantas permasalahan sederhana ini harus diselesaikan oleh seorang Kepala Negara, dan menegasikan eksistensi dan kapasitas Menteri yang bersangkutan sehingga membuat beban bagi Presiden.
Apabila sampai terjadi Presiden memenuhi tuntutan mantan AMT kontrakan Pertamina yang jumlahnya tidak signifikan itu, maka akan jadi preseden buruk bagi terbukanya peluang tuntutan yang sama oleh karyawan tidak tetap lainnya yang mungkin jumlahnya lebih besar dan tentu akan merugikan keuangan BUMN dan Negara. *
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta