Cerita Mukidi, Bukti Konten Berbasis Teks Saingi Foto dan Meme

29 Agustus 2016, 01:00 WIB

JAKARTA
Cerita-Cerita Mukidi adalah konten berbasis teks yang mampu bersaing
dengan konten seperti foto, meme, video pendek serta konten audi visual
lainnya, yang memang jauh lebih cepat dicerna ketimbang tulisan.
Mengapa?

Direktur Eksekutif Komunikonten Institut Media Sosial
dan Diplomasi Hariqo Wibawa Satria, di Depok (28/8/2016) menjelaskan,
sepanjang 2012 hingga 2016, konten tulisan yang panjang-panjang
‘tersingkir’ oleh konten seperti foto, meme video pendek yang cepat
dicerna.

Konten yang paling cepat diproduksi adalah foto dan
video kejadian, begitu ‘cekrek’, bisa langsung diupload di media sosial
atau grup percakapan, bisa jadi viral bisa juga tidak. Tulisan termasuk
konten yang sulit, butuh imajinasi tinggi dan gaya penyajian yang pas.

Dengan
menjadi viralnya cerita-cerita Mukidi di berbagai grup layanan pesan
instan, media sosial, membuktikan bahwa konten tulisan mampu bersaing di
era digital.

“Ini bukti bahwa masyarakat masih suka membaca
tulisan yang panjang-panjang, ini kabar gembira dan motivasi bagi para
penulis,” tandasnya.

Cerita Mukidi yang berbasis teks hadir
ditengah dominasi foto, meme, video pendek. Selera masyarakat tidak
berubah, konten yang paling disukai adalah yang lucu dan menghibur.

Cerita
Mukidi punya kekuatan di Mukidinya, banyak cerita Mukidi yang hits,
sehingga jika ada cerita baru Mukidi bisa dianggap sama lucunya dengan
cerita sebelumnya”, jelas Hariqo Wibawa Satria

Soetantyo Moechlas, (62), penulis Cerita-Cerita Mukidi, kita dipesankan banyak hal;

Pertama,
konten tulisan akan tetap eksis di dunia digital, tergantung isi konten
dan penyajiannya dan seberapa konsisten kita memproduksinya, Cerita
Mukidi sudah lama diproduksi secara konsisten dan baru sekarang populer,
jadi populernya Cerita Mukidi sebanding dengan kerja keras penulisnya.
Kedua, dunia konten adalah milik siapa saja yang berani produksi, bukan dominasi anak muda,

“orang
berusia 62 tahun seperti Soetantyo bisa mengalahkan generasi muda yang
masih jadi penikmat konten”, tambah Hariqo yang juga Alumnus
Pascasarjana Unv Paramadina Jurusan Diplomasi ini.

Dalam banyak
diskusi tentang media baru yang diadakan oleh Komunikonten, sering
dikatakan bahwa generasi yang lahir tahun 90-an sudah kurang tertarik
membaca konten-konten berisi tulisan yang panjang, mereka lebih tertarik
pada konten sederhana yang cepat dicerna dan spontan membuat orang
senyam senyum. 

“Sekali lagi Cerita Mukidi membuktikan bahwa ungkapan itu tidak selalu benar<” sambungnya.

Pertanyaan
selanjutnya menurut Hariqo apakah cerita-cerita Mukidi bisa diekspor
sehingga menjadi instrumen diplomasi mengenalkan budaya Indonesia?,

Hal
itu bisa saja, tinggal disesuaikan dengan selera humor penghuni bumi,
diterjemahkan ke bahasa dunia. Bukan hal yang mustahil jika suatu hari
nanti saat kita naik pesawat terbang.

Tayangan-tayangan “Just
For laughs” yang biasa kita tonton berganti dengan Cerita-Cerita Mukidi
yang lucu dan sarat pesan. Cerita-Cerita Mukidi juga bisa divideokan 
bukan.

Sekarang pilihan ada pada kita, dengan fakta kecepatan akses internet, terjangkaunya harga telepon pintar.

Kan
banyaknya aplikasi media sosial serta grup percakapan, telah memudahkan
siapapun membuat, menyebar konten seperti meme, video, foto, infografis
dan tulisan.

Kini setiap orang bisa memilih, jadi sekadar penikmat konten,  atau sekaligus produsen konten. (wan)

Berita Lainnya

Terkini