Cukup Serahkan MBG ke Kantin Sekolah! Saran Jitu Guru Besar UGM untuk Akhiri Makanan Basi

Prof. Dr. R. Agus Sartono Guru Besar FEB UGM, menyarankan perombakan mekanisme penyaluran dengan mengalihkan program MBG lewat kantin sekolah.

7 Oktober 2025, 12:23 WIB

Yogyakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama 10 bulan belakangan ini terus menuai kritik dan masalah baru.

Meskipun bertujuan mulia untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia, implementasinya di lapangan justru berujung pada kasus keracunan makanan yang bahkan menyebabkan korban jiwa.

Menanggapi kekisruhan ini, Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), menyarankan perombakan total mekanisme penyaluran dengan mengalihkan program ini melalui kantin sekolah.

Ide Mulia Terganjal Delivery Mechanism

Prof. Agus Sartono mengakui, secara konseptual, MBG adalah ide yang bagus dan telah berhasil diterapkan di negara-negara maju. Program ini, menurutnya, memiliki enam manfaat fundamental:

Perbaikan Gizi anak di usia pertumbuhan.

Membangun Kohesi Sosial melalui makanan yang sama.

Membentuk Perilaku Tertib saat mengantri dan membersihkan.

Menumbuhkan Sikap Bertanggung Jawab agar tidak membuang-buang makanan.

Menciptakan Multiplier Effect Ekonomi dan mengurangi kesenjangan.

Membuka Lapangan Kerja serta mencegah urbanisasi.

Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan,” tegas Prof. Agus, Selasa (6/10/2025).

Kondisi terburuk yang disorot adalah laporan ratusan siswa di sejumlah daerah mengalami keracunan makanan, bahkan ada yang meninggal dunia karena makanan basi.

Selain itu, makanan yang tersaji dinilai kurang variatif dan tidak optimal memenuhi kebutuhan gizi.

Anggaran Fantastis dan Potensi Kebocoran

Skala program MBG memang sangat masif. Dengan target melayani sekitar 55,1 juta siswa mulai dari SD/MI hingga Dikmas/SLB yang tersebar di lebih dari 329 ribu satuan pendidikan, anggaran yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 247,95 triliun per tahun (dengan asumsi Rp 15.000 per siswa).

Jumlah ini jauh lebih besar daripada dana desa 2025 dan hampir menyamai anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah.

Namun, besarnya dana ini justru menimbulkan kekhawatiran terkait kebocoran. Prof. Agus menyayangkan panjangnya rantai penyaluran melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar.

“Sungguh menyedihkan jika unit cost Rp 15.000 per porsi per anak pada akhirnya tinggal Rp 7.000 saja,” ujarnya.

Ia menambahkan, margin keuntungan yang besar ini membuka peluang ‘pemburu rente’ mendapatkan keuntungan yang signifikan secara “gratis,” bahkan menyebutnya bisa menjadi “Makar Bergizi Gratis”.

Dia menghitung potensi kebocoran dari margin rente ini bisa mencapai Rp 33,3 triliun secara nasional.

Solusi Praktis: Kewenangan Daerah dan Kantin Sekolah

Prof. Agus Sartono mengajukan dua opsi utama untuk memangkas rantai distribusi dan meningkatkan efektivitas program, dengan mengacu pada praktik baik di negara maju:

Pemberian Kewenangan Penuh ke Daerah

Ia mempertanyakan mengapa MBG tidak menggunakan mekanisme yang sudah ada seperti penyaluran BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang basisnya adalah satuan pendidikan.

“UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan,” paparnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan daerah diberikan kewenangan penuh sesuai undang-undang, dengan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya berfungsi sebagai pembuat panduan teknis dan melakukan monitoring.

Pendekatan ini diyakini akan menjamin kemudahan koordinasi dan tingkat keberhasilan yang jauh lebih baik.

Melibatkan Kantin Sekolah dan UMKM Lokal

Sebagai solusi teknis, Prof. Agus menyarankan MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah dan komite sekolah.

“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” tuturnya.

Melalui kantin sekolah, makanan akan tersaji segar (fresh) dan terhindar dari risiko basi. Selain itu, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah, menciptakan sirkulasi ekonomi yang sehat.

Dengan cara ini, sekolah akan menerima dana utuh sebesar Rp 15.000 per porsi, bukan hanya Rp 7.000 seperti yang terjadi saat ini.

Sebagai alternatif, dana juga dapat diberikan secara tunai kepada siswa layaknya KIP (Kartu Indonesia Pintar), dengan melibatkan orang tua dalam menyiapkan bekal.

Cara ini, menurut Prof. Agus, akan mampu menekan praktik pemburu rente dan membuat MBG benar-benar menjadi program Makan Bergizi Gratis bagi siswa.

“Saya kira masih belum terlambat, dan ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente,” pungkasnya. ***

Berita Lainnya

Terkini