Jakarta – Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia (FISIP UAI), Dr. Heri Herdiawanto, menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan kebijakan strategis yang berpihak langsung pada rakyat dan masa depan bangsa.
“Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang melimpah di darat, laut, maupun udara, mulai dari hasil pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, hingga perkebunan”, kata Heri dalam keterangan tertulisnya.
Dengan potensi tersebut, kata Heri, bangsa Indonesia seharusnya mampu memastikan setiap anak mendapatkan kecukupan gizi sebagai fondasi membangun manusia yang cerdas, sehat, dan produktif.
“Program MBG ini sangat strategis karena menyentuh aspek paling dasar dalam pembangunan manusia. Untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan berkeadilan, kita harus mulai dari manusia yang bergizi cukup dan berkualitas,” ujar Heri.
Ia menilai, dinamika dan pro-kontra yang muncul terkait pelaksanaan program MBG justru menjadi tanda bahwa publik memiliki kepedulian tinggi terhadap program unggulan Presiden. Namun, menurutnya, kritik sebaiknya diiringi dengan solusi dan kolaborasi lintas sektor.
“Masih ada dapur pemenuhan gizi di sejumlah daerah yang belum memadai dan bahkan melebihi kapasitas. Karena itu, perlu langkah terencana, terukur, dan kolaboratif antar-stakeholder untuk memperbaiki hal tersebut, bukan sekadar saling menyalahkan,” tegas Heri.
Terkait beberapa insiden keracunan yang terjadi di sejumlah wilayah, Heri menilai langkah cepat pemerintah, terutama instruksi Presiden Prabowo untuk memperbaiki tata kelola dan meningkatkan pengawasan, sudah tepat. Ia juga mendukung penggunaan juru masak terlatih dan alat uji kelayakan makanan yang higienis sebagai bagian dari perbaikan sistemik.
“Presiden sudah menunjukkan komitmen kuat untuk memperbaiki tata kelola MBG. Ini bukti keseriusan pemerintah dalam memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan makanan bergizi yang aman dan sehat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Heri mendorong agar program MBG terus diperluas, terutama ke wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dengan paradigma bottom-up, agar masyarakat di akar rumput dapat lebih berpartisipasi dan merasakan manfaat nyata dari program tersebut.
“Prioritas di daerah 3T dan perluasan akses pendidikan harus berjalan seiring dengan perbaikan tata kelola MBG. Dengan demikian, target peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat tercapai secara berkelanjutan,” pungkas Heri.***