Jakarta – Kontroversi menyelimuti Febry Diansyah, mantan Juru Bicara KPK yang kini beralih profesi menjadi advokat. Kantor hukumnya, Visi Law Office, digeledah KPK saat ia tengah menggelar rapat bersama tim hukum Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Sorotan tajam mengarah pada Febry terkait dugaan penerimaan honorarium dari Syahrul Yasin Limpo (SYL), mantan kliennya yang kini terjerat kasus korupsi. Ironisnya, Febry yang pernah membela SYL saat menjadi tersangka KPK, kini menjadi kuasa hukum Hasto Kristiyanto dalam perkara Tipikor.
Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI), TM. Luthfi Yazid, menyampaikan pesan penting bagi para penegak hukum. Pesan pertama adalah agar mereka saling menghargai dan menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas.
Pesan kedua adalah agar mereka berpegang teguh pada prinsip negara hukum dan menjauhi praktik negara kekuasaan.
Ketiga, Konstitusi UUD 1945 menjamin kebebasan mencari pekerjaan dan nafkah, memberikan hak setiap warga negara atas pekerjaan yang layak dan imbalan adil (Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D ayat 2).
Keempat, advokat adalah profesi terhormat (officium nobile) yang berhak atas honorarium atas jasanya, seperti halnya dokter. Kelima, muncul pertanyaan: apakah dokter atau advokat wajib menanyakan asal-usul uang pembayaran dari klien atau pasien?
Pertanyaan mengenai keabsahan asal-usul honorarium dianggap tidak relevan. Dalam konteks ini, prinsip legalitas memegang peranan penting. Jika verifikasi asal-usul honorarium diwajibkan, maka hal tersebut harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.
Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa adanya ketentuan hukum yang mendahului. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga tidak mengatur mengenai keabsahan atau kehalalan honorarium.
Dalam Pasal 21 ayat 1 UU Advokat hanya disebutkan “ Advokat berhak mendapatkan honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya”. Ayat 2 menyebutkan “besarnya honorarium sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”.
Jadi, kesepakatan soal biaya jasa hukum antara seorang advokat dan kliennya sifatnya kontraktual, dan karenanya harus dihormati. Sebab itu para advokat tidak perlu gusar dengan kejadian yang dialami rekan Febry sepanjang tugas-tugas advokat dilakukan secara profesional, menaati kode etik dan UU Advokat.
Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI), Luthfi Yazid, menyampaikan harapan agar advokat memperoleh perlindungan yang memadai dalam melaksanakan tugas profesinya.
Dalam konteks pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Luthfi Yazid mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi III DPR RI, untuk memperkuat kedudukan advokat sebagai bagian dari sistem penegakan hukum, setara dengan kepolisian, kejaksaan, hakim, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)/
“Dalam upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat (Justitia Omnibus),” tegasnya. ***