Dewan Pers: Hoax Disebabkan Kepercayaan Publik Menurun atas Media Mainstream

26 Januari 2017, 15:52 WIB

5

JAKARTA – Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengaku prihatin dengan mewabahnya hoax di tengah masyarakat dewasa ini. Terlebih menurutnya, persoalan ini bukan hanya menjangkiti masyarakat umum namun juga dari kalangan politisi sampai jurnalis juga ada yang melakukan hoax.

Hal itu dikatakan dalam forum diskusi publik yang diinisiasi oleh Institut Media Sosial dan Diplomasi KOMUNIKONTEN dengan tema “Strategi Menang Melawan Hoax dan Fitnah”, di Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2017) siang.

Lebih lanjut ditegaskan, hal tersebut bermula dari media sosial (medsos) seperti Twitter dan Facebook yang awal mulanya diciptakan untuk membuat update status atau menemukan kembali teman-teman lama yang berpisah, berubah menjadi sarana seseorang menyampaikan pendapat politik, mengomentari pendirian orang lain.

Pada saat yang sama masyarakat kehilangan kepercayaan atas netralitas pers dan isi media mainstream, sehingga masyarakat mencari alternatif dari media sosial. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun dari jumlah tersebut hanya 321 media  cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional.

Sedangkan media online (siber) diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi hanya 168 media  online. “Selain itu hingga akhir 2014 tercatat ada 674 media radio dan 523 media televisi,” paparnya.

Menanggapi mirisnya fenomena tersebut, Direktur Eksekutif KOMUNIKONTEN, Hariqo Wibawa Satria menegaskan akan perlunya  langkah kolektif menghadapi wabah hoax dan fitnah. Mulai dari mengajak media mainstream untuk turut secara aktif membantu mengedukasi masyarakat melalui informasi kategori, dampak hingga konsekwensi hukumnya.

Juga mengajak kalangan pendidik, aparat keamanan, politisi, organisasi masyarakat sampai pemilik perusahaan media sosial agar memiliki komitmen melakukan filter informasi yang beredar di medsos. “Perusahaan medsos memiliki pendapatan yang sangat tinggi, dan yang tertinggi misalnya Facebook. Tapi belum pernah pengusaha itu secara serius melawan hoax, semisal belum mengalokasikan penghasilan mereka untuk membangun tim filter hoax,” tegasnya.

Alumnus Universitas Paramadina ini juga menjelaskan proses yang umum terjadi dalam penyebaran kabar bohong atau hoax yang beredar di dunia maya, disebar dari satu akun medsos ke akun medsos lain, berpindah dari Facebook ke Twitter, Twitter ke WhatsApp grup, dan dalam beberapa jam – tanpa diketahui siapa yang pertama menyebarnya – pesan itu telah mengundang amarah atau rasa takut pengguna.

Hadir narasumber yang lain dalam acara tersebut, Dr. ‎ Unifah Rosyidi (Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia) dan Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf (Pokja Revolusi Mental, Mantan Dirut LKBN ANTARA).

Setelah diskusi publik ini, dari institut Media Sosial dan Diplomasi KOMUNIKONTEN akan melakukan kampanye aksi sekaligus penandatanganan spanduk “Deklarasi Hidup Tanpa Hoax dan Fitnah; Kolaborasi Pengguna Media Sosial untuk Kepentingan Nasional” pada hari bebas kendaraan (Car Free Day), Minggu pagi (29/01/2017) pukul 06.30 – 09.00 WIB, di samping Bunderan Hotel Indonesia. (des)

Artikel Lainnya

Terkini