Badung– Dalam diskusi yang diagendakan Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) mengundang berbagai kalangan baik Pemkab Badung akademisi, pakar lingkungan, sosial kemasyarakan yang dititikberatkan pada pengolahan limbah sampah terutama sampah organik dalam pengembangan ekonomin sirkular di Bali.
Bagaimana pengolahan limbah sampah agar bisa lebih mempunyai nilai ekonomis dibandingkan dengan hanya berakhir di tempat sampah atau lebih tepatnya di TPA.
“Sampah yang selama ini menjadi momok dan terkesan jorok serta tidak ada manfaatnya harus diolah dan dirubah agar mempunyai nilai manfaat,” pengamat ekonomi Trisno Nugroho dalam diskusi Forum TJSP di Kerobokan, Badung Jumat Sabtu 16 Agustus 2024.
Jadi, selama ini sampah hampir lebih dari 50% larinya ke TPA. Ini menjadi tanggungjawab bersama baik itu pemerintah maupun masyarakat, agar tidak lebih dari 20% yang terbuang ke TPA sisanya
Sampah, bisa dimanfaatkan ataupun didaur ulang dan punya manfaat untuk masyarakat, dicontohkan seperti TPST-3R Desa Adat Seminyak yang merupakan tempat pengolahan sampah terpadu yang dimiliki Desa Adat Seminyak.
Saat ini, untuk daerah Seminyak mampu mengolah sampah menjadi kompos, menjadikan pantai pantainya bersih.
“Itu bisa menjadi pantai percontohan untuk pantai di wilayah Kabupaten Badung Khususnya Serta Daerah Lain di wilayah Bali dan wilayah-wiayah lain di Indonesia,” ujar Trisno Nugroho.
Sektor pariwisata ikut berperan aktif dalam penangan limbah sampah terutama hotel, vila, restoran yang selama ini ikut menyumbang sampah cukup besar, terutama sampah baik sampah organik maupun sampah non organik.
“Kerja sama antara desa adat dan pelaku pariwisata perlu disinergikan untuk pengolahan sampah,” ujar pendiri Komunitas Malu Dong Komang Sudhiarta.
Ketika sampah tidak dikelola dengan baik maka akan berdampak pada sektor Pariwisata ,baik dan buruknya pariwisita ditentukan oleh pengelolaan sampah.
Ketika pengelolaan sampah baik, bersih maka citra pariwisata akan semakin baik dan tentu saja akan lebih banyak wisatawan akan datang ke Bali.
Komang Sudiartha mencontohkan kerja sama yang selama ini dilakukan antara desa adat dan pelaku pariwisata yaitu dengan bekerjasama dalam pembuatan kompos, yang tentu dari pihak hotel,villa, maupun restoran sudah memilah antara sampah organik dan sampah non organik.
“Jadi kami lebih mudah dalam membuat kompos dan tentu baik hoteL, villa perlu pupuk kompos untuk merawat ataupun menyuburkan tanaman yang ada di hotel maupun villa,” pungkasnya.
Regional Public Affairs Manager CCEP Indonesia Armytanti Hanum Kasmito pada kesempatan diskusi itu juga berharap saat packaging environment, jangan sampai implementasi programn berkelanjutan hanya memandang asepek sosial atau lingkungan semata, namun harus dua-duanya
“Kita sangat senang dilibatkan dalam diskusi ekonomi sirkular karena Coca Cola dari awal program BBCU sudah berusaha mengimplentasikan edukasi juga kepada masyarakat pentingnya pengelolaan sampah,” tuturnya.
Armytanti Hanum Kasmito menambahkan, dari pemilahan sampah anorganik dan organik, bernilai ekonomis yang bisa dikelola masyarakat di unit masing-masing desa.
Jika berbicara ekonomi sirkular, terkadang orang berfikirnya keuntungan, uang, padahal dengan efisiensi cost pengeluaran masing-masing itu sejatinya juga sudah merupakan dampak ekonomi.
Disi lainnya, lanjut Armytanti Hanum Kasmito, untuk sampah organik yang merupakan sampah yang paling banyak diproduksi masyarakat mereka bisa membikin composting. Masyarakat Bali bukan perkotaan yang di pinggiran masih banyak yang menggunakan lahannya untuk perkebunan rumah tangga.
Dari pada membeli pupuk kimiawi mereka bisa menggunakan pupuk kompos dari sampah dapur untuk memenuhi kebutuhan kebun mereka. Hal itu bisa menjadi mengurangi cost pengeluaran sehari-hari mereka.
“Jadi, ekonomi sirkular, jangan langsung semata-mata dilihat semata-mata dengan effort lingkungan kita langsung dapat profit sebanyak-banyaknya, tetapi sederhananya, pengurangan pengeluaran sehari-hari cost dari pemilahan sampah kita bisa membantu perekonomian kita sehari-hari dimulai dari pemilahan sampah rumah tangga,” tandas Armytanti Hanum Kasmito.
Pihaknya berharap, seperti dilakukan di Kecamatan Kuta, agar pioner ini bisa terduplikasi di desa adat lainnya. Dengan atau tanpa adanya industri , masyarakat dengan membeli makanan, membeli baju dan seterusnya bisa menghasilkan sampah sendiri.
Inilah yang perlu dipikirkan sendiri oleh masyarakat Bali khususnya desa adat, agar bisa belajar dari orang-orang yang sudah mampu mengimplementasikan dengan baik sistem pengolahan sampah. ***