Yogyakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat dinilai masih menyisakan masalah krusial, terutama terkait distribusi, kualitas makanan, dan tata kelola di lapangan.
Ketua Komisi D DPRD DIY, R.B Dwi Wahyu, mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap program ini, menyusul maraknya kasus keracunan.
Per akhir September 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat telah terjadi sekitar 6.452 kasus keracunan menu MBG, dengan data korban versi pemerintah berada di kisaran 5.000 orang.
Dwi Wahyu menyoroti jeda waktu yang terlalu lama antara proses memasak dan penyajian makanan sebagai pemicu utama makanan basi.
“Temuan-temuan di lapangan menunjukkan adanya jeda waktu yang terlalu panjang antara proses memasak dan penyajian makanan, yang menyebabkan makanan basi,” ujar Dwi Wahyu pada Jumat, 26 September 2025.
Diteegaskan perlunya perbaikan sistem distribusi agar makanan dapat tersaji dalam kondisi segar.
Menanggapi persoalan tersebut, Dwi Wahyu mengusulkan agar pelaksanaan program MBG diserahkan kepada Dinas Pendidikan (Disdikpora) sesuai dengan jenjang sekolah, dan pelaksanaannya langsung diberikan kepada pihak sekolah.
Menurutnya, penyerahan tata kelola MBG kepada Disdikpora (Kabupaten/Kota untuk SD/SMP, dan Provinsi untuk SMA/SMK) akan memperjelas rantai komando.
Pihaknya mempertanyakan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan dapur MBG, yang dinilai lebih baik dialokasikan ke sekolah-sekolah yang benar-benar membutuhkan.
Dwi Wahyu juga menekankan, tidak semua siswa membutuhkan MBG, mengingat sebagian besar sudah tercukupi kebutuhan gizinya dari rumah.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya kajian dan riset mendalam untuk menentukan sekolah mana yang layak menerima program ini, dengan memfokuskan MBG ke sekolah rakyat yang menampung anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Untuk menjamin kualitas dan efektivitas program, DPRD DIY mengusulkan adanya kolaborasi antar dinas di DIY, seperti Disdikpora, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan, hingga Dinas Perdagangan.
Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan bahan baku lokal melalui rantai pasok yang jelas dan terkontrol, yang juga berpotensi mendongkrak perekonomian lokal.
Meskipun menyambut baik tujuan MBG, Dwi Wahyu mengakui bahwa kewenangan pemerintah daerah sangat terbatas karena program ini merupakan kebijakan dari pemerintah pusat.
Ia mengkritisi implikasi program yang membuat guru harus mengurus hal-hal di luar tugas pokok mengajar, seperti distribusi makanan atau penanganan siswa keracunan.
“Kadang guru jadi enggak fokus ngajar karena harus urus piring. Kalau ada yang keracunan, apa iya harus bawa sendiri ke rumah sakit?” kritiknya.
Ia menegaskan, terlepas dari keterbatasan kewenangan, DPRD DIY akan tetap menjalankan fungsi pengawasan.
Dwi Wahyu pun menyoroti perlunya diskusi intens antara Komisi B dan Komisi D untuk memastikan kolaborasi yang baik, seraya menyayangkan belum adanya data sebaran titik dapur MBG dari Disdikpora yang krusial untuk evaluasi. ***