Ekonom: Kebijakan Pemihakan Harus Diberikan Kepada Koperasi sebagai Kelembagaan Ekonomi

17 Desember 2020, 10:30 WIB

ilustrasi benih lobster atau benur/KKP

Jakarta – Kebijakan pemihakan (affirmative policy) harus diberikan
kepada koperasi sebagai kelembagaan ekonomi yang dijamin konstitusi ekonomi
(Pasal 33 UUD 1945) dan dimiliki oleh para anggotanya.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyampaikan hal itu dalam menanggapi soal
kebijakan pemerintah yang kemudian menimbulkan persoalan hukum sebagaimana
terjadi pada kasus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Defiyan memberikan perbandingan dua kasus yang sama-sama merupakan produk
kebijakan pemerintah namun penanganannya terlihat diskriminatif.

Kasus Bank Century ditengarai didesain awal dengan skema adanya krisis
keuangan pada Tahun 2008 telah merugikan negara Rp6,7 Triliun lebih, bagaimana
kelanjutan pejabat yang berwenang mengambil kebijakan ini?

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga melakukan kebijakan ekspor
benih lobster (benur) dan “mengambil” Rp8,9 Miliar, namun kena Operasi Tangkap
Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Sama-sama melakukan eksekusi atas sebuah kebijakan, dengan nilai ekonomi yang
hilang tak sebanding, tapi mengapa keadilan hukum ditegakkan berbeda?,”
Defiyan dengan nada tanya, dalam keterangannya, Kamis (17/12/2020).

Seharusnya publik juga mempertanyakan soal kepantasan dan ketepatan sebuah
kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, namun perlakuan
hukumnya berbeda (diskriminasi).

Perlakuan yang berbeda atas kehilangan sumberdaya ekonomi negara terhadap
penegakkan hukum oleh KPK, membuat hukum hanya menjadi alat kekuasaan. Dan hal
ini akan membuat cita-cita negara hukum atas kesamaan warga negara dalam hukum
dan pemerintahan dilanggar secara kasat mata.

Ketidakadilan hukum ini dalam jangka pendek tentu akan membuat posisi
kekuasaan yang memerintah (legitimate) akan kehilangan kepercayaan publik
(public trust) dan berpotensi mengarah kepada pembangkangan sipil (civil
disobedience) melalui pelanggaran-pelanggaran aturan tertib sosial.

Dalam jangka panjang, dampaknya akan terjadi pengabaian atas ketentuan hukum
oleh penyelenggara negara berikutnya sehingga sasaran dan tujuan pembangunan
ekonomi bangsa dan negara yang akan dirugikan serta kesejahteraan sosial atau
kemakmuran bersama terbengkalai.

Sebenarnya kenapa ekspor benih lobster ini begitu mendapat sorotan publik
sejak adanya perubahan kebijakan pencabutan larangannya. Apakah ada
pengaruhnya dan berapa nilai ekspor benih lobster ini bagi penerimaan negara,
tentu menjadi penting untuk mengelaborasinya.

Dan yang lebih penting adalah, siapa mendapatkan apa dari perubahan kebijakan
larangan menjadi memberikan izin ekspor benih lobster (benur) dimaksud.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian
Keuangan, bahwa total nilai ekspor benur Indonesia mencapai US$ 74,28 Juta
atau Rp 1,04 Triliun (kurs Rp 14.000/US$).

Nilai ini merupakan hasil dari ekspor sejumlah 42 juta ekor benih. Direktur
Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kementerian Keuangan, Syarif
Hidayat menyampaikan, bahwa ekspor tersebut merupakan transaksi yang terjadi
pada periode Juli sampai Oktober 2020.

Artinya, nilai ekspor tersebut terjadi hanya dalam 4 (empat) bulan saja,
semasa Menteri kelautan dan Perikanan dijabat oleh Edhy Prabowo yang kini jadi
tersangka dalam dugaan kasus korupsi perizinan ekspor benih lobster tersebut.

Total keseluruhan benih lobster yang diekspor adalah sejumlah 42.290.999 ekor
benih denga milai ekspornya US$ 74.281.386.

Sementara itu, DJBC juga mencatatkan tujuan ekspor tersebut meliputi 3 (tiga
wilayah) yang berada di kawasan Asia, yaitu Hongkong, Taiwan, dan Vietnam.
Dan, dari ketiga wilayah tersebut, ekspor benih lobster tertinggi ditujukan
kepada negara Vietnam yang tercatat sejumlah 42.186.588 ekor.

Sedangkan ke negara Hongkong hanya sejumlah 84.226 ekor dan ke Taiwan lebih
kecil, yaitu 20.185 ekor benih.

Di lain pihak, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahwa terdapat lonjakan
ekspor benih lobster pada bulan Agustus 2020 yang mencapai US$ 6,43 Juta atau
bernilai Rp 94,5 Miliar (kurs Rp 14.700 per dolar AS) walau perekonomian
global menghadapi tertekan pandemi Covid-19.

Angka tersebut merupakan nilai dari volume ekspor benih lobster sejumlah 4,216
ton. Dan, mengacu kepada data nilai ekspor benur tersebut, maka jelas terdapat
adanya perubahan dalam penerimaan negara dari adanya kebijakan membuka izin
ekspornya.

Dampak Ekspor Atas Kemiskinan

Selain daripada itu, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), persebaran
tingkat kemiskinan di Indonesia per-Maret 2020 hampir merata terjadi di
pulau-pulau terbesar dan kaya Sumber Daya Alam Indonesia.

Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2020 sejumlah 26,42 juta jiwa atau
sebesar 9,78%.

Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 9,41% atau 25,14 juta
penduduk. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Maluku dan Papua
yang terkenal dengan hasil industri perikanan dan kelautannya, yaitu 20,34%.

Sementara itu, persentase terendah terdapat di Kalimantan sebanyak 5,81% yang
rata-rata menguasai komoditas hasil pertambangan (seperti batu bara, minyak
dan gas bumi) dan kehutanan.

Pemerintah harus segera membenahi kebijakan anggaran negara yang selama ini
terlalu besar dialokasikan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.

Kebijakan anggaran yang pro penanggulangan kemisikinan (pro poor) harus lebih
diprioritaskan dalam agenda tujuan strategi pembangunan berkelanjutan
(sustainability development goals and strategy).

Sektor-sektor industri yang menguasai hajat hidup orang banyak selama
Indonesia dijajah dahulu dikuasai oleh korporasi swasta VOC Belanda, maka
pasca proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
seharusnya dikembalikan penguasaannya kepada kelembagaan ekonomi masyarakat.

Diantaranya yaitu, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kelautan yang selama masa kolonialisme Belanda, monopoli perdagangan atas
komoditas industri-industri ini dikuasai oleh VOC, termasuk jaringan
distribusinya ke luar Indonesia.

Penduduk Indonesia praktis tidak memperoleh nilai tambah (added value)
produksi dan perdagangan berbagai komoditas yang merupakan hasil sumber daya
alam dari tanah air mereka sendiri.

Pandemi ketidakadilan ekonomi harus segera diputus agar kelompok masyarakat
Indonesia yang mengalami kemiskinan di perdesaan lebih mampu menjangkau
(akses) pembangunan industri sektoral secara efektif dan efisien dalam
persaingan ekonomi dunia.

Sebagaimana halnya kasus OTT KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy
Prabowo di sektor usaha kelautan (benih lobster), maka bukan tidak mungkin
pola penguasaan jaringan distribusi (supply chain management) untuk ekspor
komoditas lainnya juga dikuasai atau dimonopoli oleh perusahaan tertentu, dan
kesejahteraan petani dan nelayan yang dikorbankan.

Pembenahan manajemen kelompok masyarakat petani dan nelayan serta yang lainnya
harus dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholders)
sebagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat dalam suatu
industri dan perdagangan melalui program-program pendampingan.

“Agar kesejahteraan rakyat petani dan nelayan secara langsung dapat berubah,
maka pendekatan kelembagaan ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak
ini harus dirubah melalui kebijakan negara,” tegas alumnus Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta ini.

Pandemi atau virus korporasi swasta tidak bisa dibiarkan merajalela sehingga
mengakibatkan hanya orang per orang yang memperoleh kesejahteraan ekonomi dari
hasil komoditas yang diperdagangkan, baik melalui ekspor maupun impor.

Kebijakan pemihakan (affirmative policy) harus diberikan kepada koperasi
sebagai kelembagaan ekonomi yang dijamin konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD
1945) dan dimiliki oleh para anggotanya.

Sebab, soal hasil penguasaan perdagangan (termasuk ekspor-impor) sektor inilah
yang membedakan manfaat dan dampak ekonomi langsung yang diperoleh oleh
masyarakat secara luas.

Apabila koperasi berperan sebagai badan hukum usaha yang diberikan hak
langsung melakukan ekspor dan impor, maka rantai distribusi (supply chain)
komoditas yang diperdagangkan hasilnya akan dinikmati oleh para anggota yang
terdiri dari para petani, nelayan, peternak, dan pekebun.

Artinya, permasalahan kemiskinan yang terjadi terkait dengan jangkauan (akses)
ekonomi yang timpang pada sektor-sektor tertentu akan dapat diatasi secara
langsung efek menetes ke bawahnya (trickle down effect) melalui pro pendekatan
kebijakan kelembagaan ekonomi.

Oleh karena itu, ke arah inilah penanganan pandemi ketidakadilan ekonomi
melalui anggaran yang pro kemiskinan (pro poor budget) digelontorkan secara
massif.

Memang benar ekspor benih lobster ini terjadi pada era kepemimpinan Edhy
Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mengubah aturan yang
sebelumnya tidak memperbolehkan mengekspor benih lobster.

Menteri KP mencabut larangan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri
KKP Nomor 12 tahun 2020 yang diterbitkan pada Mei 2020 lalu. Padahal selama
masa kepemimpinan Menteri KP Susi Pudjiastuti periode 2014-2019, justru ekspor
benih lobster dilarang.

“Namun pertanyaan yang lebih penting adalah, apakan selama 4 (empat) bulan
ekspor benur ini bersemi, nilai tambahnya diperoleh juga oleh para nelayan,
rasanya memang tidak,” demikian Defiyan. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini