Ekonom Konstitusi: Utang BUMN Dampak Kebijakan Pemerintah, Bukanlah Aib Direksi

5 Oktober 2020, 07:32 WIB

ilustrasi/net

Jakarta – Utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya PT.
Pertamina (Persero) yang diungkapkan Ahok melalui akun pribadinya (channel
youtube) tidaklah merupakan suatu aib sebagaimana halnya menjadi berita di
berbagai media.

Utang hanyalah salah satu cara atau pilihan melakukan pembiayaan bagi
perusahaan maupun negara dalam mengatasi kekurangan dana.

Menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, banyak perusahaan dan bahkan negara
menggunakan utang dalam mempercepat proses pengembangan usaha atau bisnis
intinya (core business).

Begitu juga halnya negara dalam rangka mengatasi permasalahan kekurangan dana
pembangunan untuk mengakselerasi sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.

“Namun, penggunaan dana utang secara tidak tepat dan apalagi terus menerus
bergantung pada pembiayaan dari utang akan berdampak tidak sehat bagi keuangan
suatu perusahaan dan juga negara,” ungkap Defiyan dalam keterangannya, Senin
(5/10/2020).

Untuk itu, prinsip kehati-hatian dalam berutang menjadi faktor yang sangat
penting mempengaruhi kebijakan pendanaan bagi suatu perusahaan dan negara,
terutama dalam memisahkan konsep utang sebagai sebuah kebutuhan (needs) atau
keinginan (wants).

Lantas, apa yang menyebabkan Komisaris Utama BUMN Pertamina Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok mempersoalkan utang tersebut secara terbuka? Kemungkinan
besar Ahok memang mengabaikan konsepsi BUMN dan fakta kontribusi BUMN bagi
kepentingan rakyat banyak serta kalangan usaha swasta.

Defiyan menguraikan, sebagian besar BUMN yang beroperasi sejak pasca
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan warisan
dari perusahaan-perusahaan Belanda dan swasta asing lainnya yang
dinasionalisasikan.

Hal itu dilakukan setelah pada tanggal 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia
menyetujui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi
Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di wilayah Indonesia.

Jadi, tindaklanjut dari kebijakan tersebut, maka sejak Tahun 1957-1960,
terdapat sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil
dinasionalisasikan menjadi BUMN dan ada yang diberikan kepada pengusaha swasta
nasional.

Dalam perspektif sejarah inilah, lalu secara akuntansi kekayaan (asset) BUMN
adalah kekayaan (asset) Negara. Namun, sejak adanya Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka ada persoalan
terhadap kekayaan BUMN dan Negara ini.

Dari perspektif hukum, lanjut dia, Erman Radjagukguk (Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia/FH-UI) pernah menyampaika, bahwa Persero maupun
kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum BUKANLAH menjadi bagian dari kekayaan
negara.

Mengutip Erman, bahwa ‘kekayaan negara yang dipisahkan’ di dalam BUMN hanya
berbentuk saham. Artinya, kekayaan BUMN tidak menjadi kekayaan negara
disebabkan oleh adanya saham.

Kemudian, Erman merujuk pada Pasal 1 Ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara yang menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang
selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas
(PT) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51
persen dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan.

Selanjutnya, Pasal 11 menyatakan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur di
dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (yang telah berubah
menjadi UU No. 40 Tahun 2007). BUMN yang berbentuk Perum juga adalah bagian
badan hukum yang berdasarkan Pasal 35 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN yang menyatakan bahwa Perum memperoleh status Badan Hukum sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

Berdasarkan beberapa hal di atas, sambung Defiyan, Erman menilai BUMN tidak
menjadi bagian dari kekayaan negara. Akibat kesalahpahaman dalam pengertian
“kekayaan negara” ini, tuduhan tindak pidana korupsi juga mengancam Direksi
BUMN.

Dijelaskan, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memang
menjelaskan bahwa seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik dipisahkan
atau tidak dipisahkan merupakan bagian dari keuangan negara.

Namun, Erman menekankan bahwa “kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN
yang dimaksud adalah secara fisik berbentuk saham yang dipegang oleh negara.
Tetapi, harta kekayaan yang dimiliki oleh BUMN tidak menjadi bagian dari
kekayaan negara.

Sesat pikir mengenai kekayaan BUMN bukanlah merupakan kekayaan negara adalah
berasal dari kesalahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara sebagaimana pernah disampaikan Wakil Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Hasan Bisri atas upaya gugatan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara yang dilakukan oleh Forum BUMN, Biro Hukum Kementerian BUMN
dan Pusat Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia pada Tahun 2013.

Pasal yang dimohonkan diuji materi saat itu, yaitu pasal 2 huruf (g) dan (h).
Pokok persoalan yang diuji materikan tersebut menyatakan bahwa kekayaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi masuk dalam lingkup keuangan negara.

MK pada akhirnya menolak uji materi tersebut, dan apabila MK mengabulkannya
tentu berimbas besar terhadap pengelolaan keuangan negara. Gugatan uji materi
itu terhadap pasal 2 huruf (g) dan (h) terkait materi Kekayaan Negara yang
dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tata kelola BUMN, khususnya Pertamina yang tidak pada tempatnya dipersoalkan
oleh Ahok dengan menyampaikan secara terbuka kepada publik dalam kapasitasnya
sebagai Komisaris Utama Pertamina sejak 22 November 2019 lebih tepat disebut
perilaku yang mengabaikan ketentuan peraturan dan per-Undang-undangan terkait
yang berlaku pada BUMN.

Berbagai kebijakan direksi Pertamina yang dipersoalkan Ahok sebagai tak masuk
akal dalam kalkulasi bisnis sehingga menanggung utang yang jumlahnya cukup
besar harus dilihat secara menyeluruh (komprehensif) dan faktual.

Defiyan mencontohkan, kebijakan manajemen Pertamina yang mengakuisisi sumur
minyak di luar negeri atau pembelian ladang minyak yang dilakukan dengan
menggunakan sumber dana dari utang harus dicarikan oleh Ahok cara alternatif
lainnya jika memang ada atau tidak asal menyampaikan opini saja pada akun
YouTube POIN yang telah disebarluaskan pada hari Rabu tanggal16 September
2020.

Menurutnya, Ahok juga harus memahami bahwa perusahaan BUMN seringkali dibuat
dalam posisi dilematis oleh berbagau produk UU yang ada dan terkadang saling
bertolak belakang sehingga akan menyulitkan posisi hukum Direksi dan Komisaris
BUMN di kemudian hari.

Pernyataan Ahok soal utang BUMN Pertamina sebagai tindakan manajerial harus
dilihat dalam perspektif ketentuan dan peraturan UU BUMN dan UU Keuangan
Negara serta penugasan pemerintah yang dibebankan pada BUMN.

Lebih dari itu, Ahok harus mempelajari secara mendalam sejarah BUMN melalui
kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya yang
beroperasi berdasar sistem ekonomi kapitalisme menjadi mandat konstitusi
ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Berdasar pengalaman uji materi UU Keuangan Negara yang pernah dilakukan oleh
masyarakat itu, perlu kiranya pernyataan Ahok mengenai utang Pertamina
sejumlah US$ 16 Miliar tidak dijadikan alasan bagi Komut Pertamina itu untuk
melakukan audit tersendiri setelah BPK melakukannya.

Bahwa masih terdapat UU yang masih bermasalah dalam tafsir atas kekayaan BUMN
dan kekayaan negara yang dipisahkan oleh para ahli hukum dan perspektif
kewenangan BPK dalam pemerikssaan kekayaan negara.

“Utang yang dipersoalkan Ahok itu adalah termasuk menambah kekayaan BUMN dan
atau negara untuk mencapai tujuan kemandirian energi dalam industri minyak dan
gas bumi merupakan sebuah kebutuhan mendesak yang telah berulangkali
disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dan bukan aib,” demikian Defiyan.
(rhm)

Artikel Lainnya

Terkini