Ekonom: Pemborosan Pemerintah Pusat, APBN 2020 Alami Defisit

15 Januari 2020, 06:47 WIB

Jakarta – Postur APBN 2020 yang dirancang defisit disebabkan besarnya
alokasi belanja pemerintah pusat dibanding pendapatan sehingga terjadi
pemborosan anggaran.

The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), serta The Asian
Development Bank (ADB) telah mengeluarkan publikasi (release) tentang akan
cemerlangnya pertumbuhan beberapa negara Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) pada Tahun 2020.

Sebut saja, Vietnam dan Myanmar yang diperkirakan akan dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 7-8% per tahun.

Padahal, kedua negara ini dahulu masih terlibat konflik bersenjata saat
Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 10,92 persen di era pemerintahan
Presiden Soeharto (almarhum) pada Tahun 1970.

Menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, Vietnam, hanya dalam 3 (tiga) dekade
mampu bertransformasi dari awalnya adalah salah satu negara termiskin di
wilayah Asean, kemudian menjadi salah satu negara tersukses dalam mengelola
pembangunan.

Jika mencoba mengamati perjalanan sukses Vietnam ini, maka tak bisa dilepaskan
dari perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran yang terarah dan terukur,
dimulai pada akhir tahun 1980-an.

Mereka mampu menggerakkan ekonomi tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri,
tetapi juga berorientasi untuk pasar kawasan dan dunia (global market).

“Strategi ini berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rata-rata
7,0 persen per tahun pada periode 1991 hingga 2010,” ungkapnya dalam
keterangannya, Rabu (15/1/2020).

Lantas, bagaimana dengan perencanaan pembangunan dan akokasi anggaran
pemerintahan Indonesia pada Tahun 2020 sehingga tidak diperkirakan menjadi
negara Asean yang tertinggi capaian pertumbuhan ekonominya?

Belanja Pusat Terbesar

Badan Anggaran DPR RI telah menetapkan postur sementara RUU APBN 2020 yang
telah dibahas dengan pemerintah dalam Rapat Kerja berdasarkan hasil Panitia
Kerja (Panja) pada Hari Jum’at tanggal 6 September 2019, yang terdiri dari
pendapatan negara, belanja negara, keseimbangan primer, defisit, serta
pembiayaan anggaran.

Namun sayangnya postur APBN masih dirancang defisit, yang berarti lebih besar
alokasi belanja dibandingkan pendapatan atau ibarat pepatah, “besar pasak
daripada tiang”.

Alokasi anggaran belanja negara memang sudah mengalami penurunan sebesar
Rp11,2 Triliun dibanding tahun yang lalu. Namun, hal ini lebih dipengaruhi
oleh subsidi energi yang terdampak penurunan asumsi ICP yang menyumbang
penurunan sejumlah Rp12,6 Triliun.

Penyebab menurun yang lain adalah berkaitan dengan subsidi BBM yang turun
sejumlah Rp15,6 Miliar, dan subsidi LPG yang berkurang Rp2,6 Triliun, serta
subsidi listrik diturunkan sejumlah Rp7,4 Triliun.

Selain itu, anggaran kurang bayar yang semula berjumlah Rp4,5 Triliun menyusut
menjadi Rp2 Triliun. Dana bagi hasil (DBH) mengalami peningkatan Rp1,4 Triliun
yang disebabkan oleh imbas kenaikan CHT, PBB, dan PNBP SDA migas.

Adapun pembiayaan defisit anggaran tidak mengalami perubahan, yaitu tetap
sejumlah Rp307,2 Triliun, dan jumlah defisit tersebut ditetapkan sebesar 1,76
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara itu, dari total alokasi belanja negara yang berjumlah Rp2540,4
Triliun, maka alokasi belanja Pemerintah Pusat adalah Rp 1.683,5 Triliun atau
sebesar 66,3% dari porsi total belanja negara.

Sedangkan alokasi belanja sebagai dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah
sejumlah Rp 856,9 Triliun atau sebesar 33,7%. Artinya alokasi belanja
pemerintah pusat persentasenya lebih besar dibanding yang dialokasikan ke
kabupaten/kota dan desa.

Dengan begitu, pemerintah pusat dapatlah dianggap yang melakukan pemborosan,
tidak efektif dan efisien mengelola keuangan negara, sehingga menjadi penyebab
terjadinya defisit sebesar 1,76 persen dan bahkan tahun-tahun sebelumnya.

Apabila defisit anggaran yang berjumlah Rp 302,7 Triliun ini diatasi dengan
melakukan pengurangan atau efisiensi atas alokasi belanja pemerintah pusat,
yaitu menjadi Rp1.376,3 Triliun, maka postur APBN akan berimbang atau defisit
Rp 0.

Mengapa pemerintah atau otoritas moneter dan keuangan justru malah menurunkan
alokasi subsidi energi untuk masyarakat?

Besarnya alokasi belanja untuk pemerintah pusat ini dapat diartikan bahwa
sumber defisit selama ini adalah penyelenggara negara di pusat yang bertindak
boros, dan bukan disebabkan oleh daerah-daerah.

“Seharusnya untuk tujuan efektifitas dan efisiensi pembiayaan penyelenggaraan
negara, maka pemerintah pusat lah yang harus melakukan evaluasi atas
belanjanya yang sangat besar pada APBN 2020,” tutur alumnus UGM Yogyakarta
ini.

Sedangkan Pendapatan Negara dalam anggaran tersebut hanya ditetapkan sejumlah
Rp2.233,2 Triliun, walaupun ada kenaikan sejumlah Rp11,6 Triliun jika
dibandingkan dengan jumlah awal yang dialokasikan pada RAPBN 2020.

Defiyan melanjutkan, dari angka tersebut, penerimaan perpajakan dialokasikan
sejumlah Rp1.865,7 Triliun atau sebesar 83,5 persen dari total penerimaan
negara. mengalami kenaikan sejumlah Rp3,9 Triliun.

Peningkatan pendapatan ini berasal dari PPh migas sejumlah Rp2,4 Triliun, PBB
sejumlah Rp0,3 triliun, dan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sejumlah Rp1,2 Triliun.

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami peningkatan Rp7,7 Triliun.
PNBP SDA Minyak dan gas masing-masing naik sebanyak Rp6 Triliun dan Rp0,7
triliun.

Domestic Market Obligation (DMO) serta kekayaan negara yang dipisahkan (KND)
juga meningkat Rp15,9 Miliar dan Rp1 Triliun.

Kata Defiyan, pemerintah masih tetap mengandalkan sumber pendapatan dari
penerimaan pajak yang terbesar, walaupun selama 15 tahun terakhir sektor
industri tidak bergerak dan memberikan kontribusi atas pertumbuhan ekonomi
nasional.

Dukungan Industri Daerah

Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menyebut kabinetnya sebagai
Indonesia Maju, maka alokasi pembiayaan pembangunan harus lebih besar ke
daerah-daerah untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Dia melanjutkan, pembangunan infrastruktur (apalagi jalan Tol) tanpa
memperhatikan daya ungkit (leverage factor) dan dampak pengganda (multiplier
effect) yang menstimulus perekonomian daerah harus dihentikan, apalagi kalau
pembiayaannya berasal dari utang.

“Berbagai kebijakan harus diarahkan untuk lebih memudahkan kalangan investor
dan industri dalam berpartisipasi membangun daerah. Angka defisit yang
sejumlah Rp 307,2 Triliun itu sebaiknya dialokasikan untuk pembangunan
industri-industri pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan serta
pariwisata di daerah-daerah,” tukasnya.

Sebagaimana halnya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Vietnam
dan Myanmar, yang dilakukan melalui penciptaan kawasan-kawasan industri baru,
dan beragam insentif juga diberikan kepada investor manapun yang berminat
mengembangkan industri.

Melalui kebijakan inilah, perekonomian Vietnam yang hancur dan secara sosial
politik sempat terbelah antara Utara dan Selatan melesat dengan cepat
dibanding negara Asean lainnya.

Selain itu, kebijakan pemihakan (affirmative policy) ekonomi diarahkan pada
generasi korban perang saudara yang menyaksikan kehancuran kehidupan
sosial-politik dan ekonomi masyarakat Vietnam.

Salah seorang korban yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pelaku
ekonomi berskala besar pada masa berlangsungnya Doi Moi ini adalah Pham Nhat
Vuong.

Presiden Joko Widodo beserta Kabinet Indonesia majunya harus konsisten dengan
jargon membangun dari wilayah terluar, terpinggir dan terdalam dalam memacu
pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan pada angka 5 persen.

Hal mana, berbeda era pemerintahan Presiden ke-2 RI almarhum Soeharto yang
membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mendorong swasembada
di sektor pertanian (beras).

Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 10,92
persen pada Tahun 1970. Melalui perencanaan pembangunan dengan skala prioritas
tersebut, maka pemerintahan Kabinet Pembangunan IV mampu memproduksi beras
sebanyak 25,8 juta ton.

Indonesia berhasil melakukan swasembada beras, lalu kesuksesan ini mendapatkan
penghargaan dari Food and Agriculture Organization/FAO (Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia) pada tahun 1985.

“Malu rasanya apabila bangsa lain yang belajar strategi pembangunan dan skala
prioritas pada Indonesia, sementara itu Indonesia sendiri justru sudah tidak
menggunakannya lagi, cenderung tanpa arah dan sasaran yang jelas,” ucapnya.

Dia berharap Presiden Joko Widodo dapat mencermati postur APBN 2020 ini dan
melakukan perbaikan atas alokasi APBN 2020 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
6 persen lebih dan memenuhi janji kampanye memandirikan ekonomi Indonesia.
(rhm)

Berita Lainnya

Terkini