![]() |
ilustrasi/net |
JAKARTA – Polemik rencana penggunaan dana haji abadi ummat oleh pemerintah ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Agama mampu berkoordinasi dengan baik.
Koordinasi harus dilakukan dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan dalam negeri yang lebih efektif menutup defisit APBN dan menunjang program pembangunan.
“Pada dasarnya sosialisasi pada ummat Islam lebih awal merupakan cara yang lebih bijaksana dan transparan dalam hal mengantisipasi polemik yang justru tak produktif,” kata ekonom konstitusi Defiyan Cori kepada Kabarnusa.com, Senin (31/7/2017).
Banyak hal yang harus dijelaskan kepada ummat Islam soal pemanfaatan dana haji abadi ummat ini, seperti jika hanya digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang otomatis dana akan tertanam dalam jangka waktu yang cukup lama sementara permasalahan ummat juga banyak yang harus diatasi.
Semestinya para akademisi dan Ekonom yang menjadi anggota Badan Pengelola dana haji abadi ummat lebih paham soal prioritas kegiatan yang harus dilakukan sebelum pemanfaatan dana itu diputuskan bagi pembangunan proyek-proyek infrastruktur, yaitu dengan melakukan kajian dan exercise pemanfaatan, alokasi dan distribusi terlebih dahulu.
Jika melihat Posisi laporan keuangan terakhir dana haji abadi ummat yang dipublikasikan per 31 Agustus 2016 adalah sebesar Rp 2.891 Trilyun, terdiri dari Rp 17.939 Milyar di rekening giro, Rp 1.492 Trilyun dalam bentuk deposito, SBSN sebesar Rp 1.447 Milyar dan saham di Bank Muamalat sebesar Rp 24.398 Milyar.
“Itu semua bukanlah jumlah yang sedikit, hampir separuh lebih jumlah APBN,” sebut mantan tenaga ahli Bappenas ini.
Sedangkan DAU yang berbentuk mata uang dollar adalah sebesar Rp 2.818 US dollar dengan kurs Rp 13.200 maka DAU berjumlah Rp Rp 2.929 Trilyun. DAU sejak bulan Mei 2005 dibekukan dan tak dapat digunakan karena belum memiliki landasan hukum.
Karenanya, menurut Defiyan, yang lebih penting adalah apa status dana haji abadi ummat yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah ini.
Apakah dana tersebut sebagai utang pemerintah pada ummat Islam, sebagai penyertaan modal dalam investasikah atau hibah pada pemerintah. Sebab status masing-masing dana itu akan berdampak pada perlakuan akuntansinya dan tentu saja manfaat yang diperoleh oleh ummat Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagai warga negara, ummat Islam juga telah ikut membayar kewajiban pajak dan sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa juga membayar zakat, infaq, sadaqoh dan wakaf.
“Tentu kepastian status menjadi sangat penting supaya ummat Islam tidak hanya dijadikan obyek saja,” demikian Defiyan. (rhm)