Fasilitasi KTT Kelompok Separatis Papua, RI Layak Putuskan Diplomatik dengan Vanuata

3 Desember 2017, 06:24 WIB
ilustrasi/SINDOnews

PAPUA – Indonesia sudah selayaknya memutuskan hubungan diplomatik dengan Vanuata karena telah memfasilitasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Separatis Papua (KSP) melalui sayap lobi internasionalnya ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) sekaligus mengevaluasi tiga tahun terbentuknya ULMWP

Kelompok Separatis Papua (KSP) lewat sayap lobi internasionalnya, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) baru saja menggelar pertemuan akhir November 2017.

Uniknya adalah mereka memilih tempat di Port Villa, ibukota Negara Vanuatu. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini diadakan sekaligus mengevaluasi tiga tahun terbentuknya ULMWP.

Dalam kesempatan tersebut, PM Vanuatu langsung membuka KTT dengan menyatakan klaim peningkatan dukungan pada ULMWP menjadi tujuh anggota Koalisi Kepulauan Pasifik untuk Papua Barat (Pacific Island Coalition for West Papua/PICWP).

Pertemuan juga dihadiri Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), Manasseh Sogavare dan Sekjen ULMWP, Octavianus Mote.

Pengamat Politik Internasional, Arya Sandhiyudha berpendapat, pelaksanaan KTT ULMWP di Vanuatu tidak boleh diabaikan dalam politik luar negeri Republik Indonesia. Ini bukan pertama atau kedua bagi Vanuatu.

Negara ini berkali-kali melecehkan sikap kita terhadap isu Papua dan keutuhan NKRI. Indonesia musti bersikap sangat tegas, bahkan apabila pemutusan diplomatik menjadi pilihan Presiden RI itu hal yang sangat wajar.

Menurut Arya, setidaknya ada tiga kesalahan fatal Vanuatu. Vanuatu setidaknya telah menambah tabungan ketidaksopanan. Pertama, ini mereka ambil momen tiga tahun jelang 7 Desember 2014 ketika ULMWP membuka kantor ULMWP di sana (Vanuatu).

Kedua, kini mereka diizinkan melaksanakan KTT di sana. Ketiga, acara tersebut dibuka oleh Perdana Menteri Charlot Salwai. Tiga hal yang menunjukkan mereka tidak punya keinginan menjadi negara sahabat.

Arya mengatakan, Vanuatu jangan membayangkan Papua itu bernasib seperti mereka. “Kalau mereka Vanuatu ya memang mengalami Penjajahan secara de facto, mereka hanya merasa merdeka dalam negara homogen Melanesia, namun sejatinya sumber daya alam mereka tidak ada yang dapat dinikmati oleh pemilik tanah adat dan warga aseli”.

“Itu sangat berbeda dan tidak terjadi sama sekali di Papua apalagi setelah reformasi hingga kini sudah banyak hal progresif di tanah Papua. Jangan dia yang bercermin lalu membayangkan orang lain berwajah sama,” ungkap Arya dalam keterangan tertulisnya diterima Kabarnusa.com, Minggu (3/12/2017).

Selebihnya, soal argumentasi semua hal yang dijadikan dasar propaganda sangat lemah. “Bicara Melanesia, Indonesia justru rumah Melanesia terbesar. Isu HAM, sesekali perlu sebagian warga negara kepulauan Pasifik yang kerap iseng dengan isu ini harus diundang kunjung ke Papua (kita), biar mereka iri sendiri karena kerawanan keamanan justru lebih parah di negara mereka”.

“Isu politik dan ekonomi, apalagi. Pasca reformasi, kebijakan politik-ekonomi untuk mengususkan Papua sangat progresif,” sambung WNI pertama peraih Doktor Bidang Hubungan Internasional dari kampus Turki tersebut.

Kunci yang dibutuhkan menghadapi ancaman ini adalah komunikasi internasional yang baik. “Kita butuh Australia sebagai sahabat kita sekaligus mitra dagang utama Vanuatu untuk menekan Vanuatu agar lebih tahu diri”.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan dan Isu Internasional, MaCDIS (Madani Center for Development and International Studies) ini mengatakan KTT ULMWP di Vanuatu ini musti diwaspadai sebagai “gong” aktivitas selanjutnya.

“Kita harus waspadai tindak-lanjut KTT ini. Sehari setelah penutupan saja sudah langsung ada artikel 1 Desember (2017) ditulis politisi Selandia Baru, Catherine Delahunty. Jelas ada agenda-setting dan scenario-planning yang sistematis,” katanya mengingatkan. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini