Gelar Pahlawan Soeharto Harus Dilihat dengan Objektivitas dan Semangat Rekonsiliasi

8 November 2025, 21:21 WIB

Jakarta – Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, La Ode Anhusadar, menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya tidak dilihat semata-mata dari sudut politik atau luka masa lalu.

Menurutnya, bangsa ini perlu mendekati persoalan tersebut dengan objektivitas, kejujuran sejarah, dan semangat rekonsiliasi nasional.

“La Ode menilai, pernyataan Ibu Megawati Soekarnoputri yang menolak gelar pahlawan bagi Soeharto bisa dimaknai sebagai bentuk keberanian mengungkapkan kebenaran sejarah. Namun, di sisi lain, bangsa ini juga harus jujur mengakui jasa besar Soeharto dalam pembangunan Indonesia,” ujarnya, Sabtu (8/11/2025).

Menurut La Ode, sikap saling menegasikan jasa dan kesalahan hanya akan memperpanjang luka sosial bangsa.

“Kita perlu memandang sejarah secara objektif dan tidak membiarkan emosi menghalangi pemahaman kita tentang masa lalu. Dendam dan kebencian tidak akan pernah membawa perdamaian,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya sikap bijak dalam menghadapi perbedaan memori sejarah antara generasi dan kelompok politik.

“Rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi menjadikannya pelajaran untuk masa depan. Kita bisa menghormati korban sejarah sekaligus mengakui jasa tokoh-tokoh besar bangsa, termasuk Soeharto,” tambahnya.

Lebih jauh, La Ode menyoroti bahwa partai politik di Indonesia sering menyerukan perdamaian, namun substansinya sering tidak disertai kejujuran sejarah.

“Perdamaian yang sejati tidak akan lahir dari slogan, tetapi dari keberanian mengakui kesalahan, meminta maaf, dan bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik,” ungkapnya.

Menurutnya, perdebatan mengenai gelar pahlawan Soeharto mestinya tidak dilihat sebagai ajang pro dan kontra, melainkan sebagai momentum untuk menguji kedewasaan bangsa dalam memaknai sejarah.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya tanpa menghapus satu sisi pun dari kebenaran sejarahnya,” tutup La Ode Anhusadar.***

Berita Lainnya

Terkini