Denpasar– Lomba resensi film dokumenter fiksi “Roots – Walter Spies Journey in Bali” sukses digelar dan menyuguhkan kejutan yang membanggakan: dominasi total penulis muda perempuan, bahkan hingga ke podium juara.
Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah pertanda geliat baru yang menggugah dalam dunia literasi dan apresiasi sinema di kalangan generasi muda, khususnya kaum hawa di Pulau Dewata.
Yudha Bantono, Project Manager pameran ‘Roots’ sekaligus inisiator pemutaran film di berbagai penjuru Bali, tak dapat menyembunyikan kekagumannya.
“Kehadiran kalangan penulis muda memberi warna berbeda dalam merespons karya film dokumenter fiksi yang sarat nilai sejarah dan sosial budaya tersebut,” ujarnya pada Selasa, 17 Juni 2025. Pernyataannya bukan isapan jempol belaka.
Lomba resensi ini, yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan inisiasi Niskala Studio dengan dukungan KBH.G Basel, berhasil membuka ruang dialog yang lebih luas tentang sosok Walter Spies, seniman legendaris yang jejaknya abadi di Bali.
Para peserta tak hanya diajak menonton film, namun juga diajak menyelami kembali jejak perjalanan Walter Spies melalui tulisan kritis mereka.
Momentum 100 tahun Walter Spies di Bali bukan sekadar perayaan warisan budaya, melainkan juga ajang menumbuhkan semangat literasi dan refleksi sejarah yang mendalam di kalangan generasi muda.
Lina PW dari Niskala Studio, yang dipercaya merancang pemutaran film dan lomba resensi, mengungkapkan antusiasme peserta yang luar biasa. “Peserta berasal dari sekolah di wilayah Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, serta Kota Denpasar yang didominasi penulis muda perempuan.
Bahkan dalam penilaian sepuluh besar, komposisinya 70% perempuan dan 30% laki-laki,” terang Lina, menunjukkan betapa pesatnya perkembangan minat kaum perempuan dalam bidang ini.
Setelah melewati penilaian ketat oleh empat dewan juri yang berkaliber: Made Birus (sutradara, penulis, pegiat film), Clara Listya (WikiBasaBali), Yudha Bantono (penulis, kurator seni), serta Lina PW (penulis, penerjemah, penikmat film), akhirnya tiga juara resensi film berhasil ditetapkan.
Mereka adalah Kadek Cahya Widiari (Juara I dengan karya “ROOTS : Ketika Bali Berbicara dari Akar”), Ketut Arijuna Aryawangsa (Juara II dengan “Bersama Walter Spies, Menyusuri Akar Permasalahan Bali”), dan Komang Tri Sinta Dhyana Kuntari (Juara III dengan “Roots (2024): Paradoks Indahnya Akar Bali dari Kanvas Hidup Seorang Anomali”).
Ketiganya, secara membanggakan, berasal dari SMA Negeri 3 Denpasar.
Menariknya, Lina PW menambahkan bahwa sebagian besar peserta lomba resensi film Roots ternyata baru pertama kali mengikuti kompetisi sejenis.
Kadek Cahya Widiari, sang juara pertama, mengaku hanya pernah menulis resensi sebagai tugas ekstrakurikuler di sekolah. Ia bahkan mendaftar di hari terakhir pendaftaran! Pengalaman ini, menurut Cahya, bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga memberikan refleksi baru baginya, terutama dalam memahami sejarah dan dinamika perkembangan Bali.
Senada dengan Cahya, Komang Tri Sinta Dhyana Kuntari, juara ketiga, juga baru pertama kali mencoba lomba resensi film. Baginya, Roots adalah film yang menarik sekaligus menantang.
Ia merasakan betapa kehadiran narasumber dalam setiap pemutaran film membuat Roots terasa lebih hangat dan bermakna. “Roots benar-benar seperti akar – menggali hal-hal yang saling berkaitan secara unik dan mendalam,” ujarnya penuh makna.
Film dokumenter fiksi Roots karya Michael Schindhelm ini sendiri telah diputar di berbagai lokasi bergengsi seperti ARMA Museum, Kulidan Kitchen and Space, ISI Bali, Danes Art Veranda, Taman Baca Kesiman, STIKOM Bali, dan Uma Seminyak, selalu disambut antusiasme luar biasa dari berbagai kalangan: mulai dari siswa hingga akademisi, seniman, budayawan, bahkan masyarakat luas.
Yudha Bantono, yang telah tiga kali menghadiri Locarno Film Festival di Swiss, menegaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, lanskap kritik film telah mengalami transformasi signifikan.
“Salah satu perkembangan yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah penulis perempuan muda dalam kompetisi ulasan film, seperti dalam lomba resensi film Roots,” ungkapnya.
Pergeseran ini tidak hanya mendiversifikasi suara dalam wacana sinematik, tetapi juga menantang norma gender yang telah lama mendominasi bidang kritik film.
“Melalui kompetisi resensi film Roots karya Michael Schindhelm, setidaknya telah memberikan bukti serta angin segar dalam kemajuan bagi munculnya penulis muda perempuan di Bali,” tambah Yudha optimistis.
Meski berdurasi 165 menit, kisah Walter Spies dalam Roots—siapa dirinya, apa yang dilakukannya sejak datang ke Bali 100 tahun lalu, hingga bagaimana ia “kembali” sebagai sosok hantu yang mengamati perkembangan Bali masa kini—berhasil memikat penonton untuk menyelami perannya dalam sejarah dan budaya Bali.
Lina PW juga menilai film ini mampu menghadirkan beragam perspektif, terutama dari kalangan muda, dengan dominasi penulis perempuan sebagai salah satu sorotan utama.
Fenomena ini membuktikan pentingnya inklusivitas dan keberagaman dalam membentuk cara pandang terhadap film, sekaligus menginspirasi generasi muda lainnya untuk terus berkarya.