Goresan Husner Angkat Alam dan Ritual Bali

23 Desember 2013, 08:52 WIB
Lukisan karya Paul Husner

Kabarnusa.com, Ubud – Alam dan ritual kehidupan sehari-hari masyarakat di Pulau Bali menjadi inspirasi hidup bagi Pelukis kenamaan Paul Husner (71) yang menuangkan karya-karyanya dalam goresan kanvas.

Banyak lukisan dengan obyek pemandangan alam seperti gunung yang berwarna orange atau juga biru, meru dan sosok-sosok perempuan dengan aneka peralatan upacara adalah beberapa karya khas Husner.

Dalam pameran yang berlangsunf satu bulan sejak 7 Desember 2013- 7 Januari 2014, beberapa karya lukis cat minyak tersebut terhampar di dinding galeri museum ARMA, Ubud Kabupaten Gianyar.

Karya Husner menyemarakkan pameran ‘The Magic of Truth’ yang didedikasikan kepada masyarakat khususnya pecinta penikmat seni lukis.

Dikuratori Jean Couteau, ajang itu merupakan eksebisi tunggal yang menghadirkan karya-karya multi warna dan coretan khas pelukus Husner.

Sebanyak 37 buah karya lukisan, sebagian besar menggambarkan objek-objek di sekitar Batur, Sideman, juga ritual di pura setempat.

Jika dicermati sekilas, dalam lukisan-lukisannya lebih mengemuka adalah permainan warna dan cahaya.

“Kita tidak langsung dapat menangkap sosok atau bentuk yang realistik, namun seketika pula dapat menangkap suasana atau realitas imajiner yang dibangun pelukisnya,” tutur Couteau dalam keterangan tertulisnya kepada Kabarnusa.com, Senin (23/12/2013).

Husner menampilkan aneka objek dalam bidang-bidang yang luas, menyeluruh di dalam kanvasnya. Pilihan warnanya yang eye-catching dengan kontras yang cenderung kuat, kian menyentak pandang.

Hal tersebut menjadikan lukisan-lukisan karyanya cenderung bernuansa mistis namun sekaligus juga terasa amat nyata.

Diketahui, Husner, lahir Basel, Swiss, tahun 1942, sebuah kota dengan berbagai museum tersohor, yang dahulu kala menjadi mercusuar di masa Renaisans negeri-negeri Jermanik.

Setelah menempuh karir nan panjang di negeri Belanda sebagai pelukis dan guru di Rijks Akademie (Royal Academy) Amsterdam, kini bermukim serta berkarya di Indonesia.

Ia memilih bertempat tinggal di Bali oleh karena, menurut pengakuannya, “cahaya alamnya tidak ada padanannya di mana pun di dunia”.

Kekaguman pandangannya akan Bali tecermin pula melalui lukisan-lukisan yang dikerjakannnya sepanjang tahun 2005 hingga terkini.

Sebagai koloris, ia memang menaruh perhatian utama pada pertemuan cahaya itu dengan orang dan alam, baik di Bali maupun di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Hasilnya, karya-karya dengan aneka warna yang bergetar sedemikian rupa di mana ikon-ikon khas Bali dan Indonesia hadir di dalam kanvas menyarankan suatu renungan eksistensial antara Manusia dan Alam.

Namun, tak seperti kebanyakan pelukis asing yang bermukim di Bali, Husner tak lantas begitu saja larut dalam eksotika pulau ini. 

Husner sesungguhnya tidak tertarik menekankan dalam karyanya elemen-elemen “realitas” Bali sebagai sesuatu yang kasat mata.

Untuk dia yang penting bukan sajen, upacara, atau suatu” realita obyektif” apa pun, melainkan yang utama adalah kenyataan dunia dalam batinnya sendiri.

“Suatu relitas imajiner yang merupakan rekaan sang pelukis,” tutur Jean Couteau, budayawan yang juga kurator pameran ini.

Husner muda telah pandai menggambar berkat bakat alam yang dimilikinya. Sempat bekerja sebagai penyelaras atau ‘tukang penyetel’ warna (‘retoucheur’) pada sebuah penerbit Swiss, tapi ia kemudian memilih undur. Kala itu ia sungguh-sungguh berhasrat menekuni dunia seni rupa.

Sejatinya ia telah mempraktekan sedini usianya segenap pengetahuan guna mengasah bakat dan minatnya tersebut, seraya mempelajari semua isi museum di kota Bassel, baik koleksi seni rupa klasik maupun modernnya.

Bahkan antara tahun 1960-1962, ia secara khusus mengikuti kuliah di Kunst Museum Basel di bawah bimbingan Professor Georg Schmidt, seorang pelopor ilmu seni non-Barat di pendidikan tinggi tersebut.

Tidak heran bila pelukis yang pernah menjadikan Sanur sebagai ilham utama penciptaanya ini menerima berbagai penghargaan internasional seperti Prijs Urio (1969), Willink Van Collen (1971), Oosting Awards (1974).(gek)

Berita Lainnya

Terkini