Jakarta – Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Abdul Haris Fatgehipon, menanggapi disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR RI. Menurutnya, pengesahan ini merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislatif.
“Kita menghormati kewenangan legislasi yang dimiliki DPR dalam mengesahkan RUU TNI hari ini,” ujarnya dalam wawancara di sela diskusi publik bertajuk “Mengawal konsistensi Reformasi TNI”, di Rawamangun, Jakarta Timur (20/3).
Prof. Abdul Haris juga menjelaskan bahwa hubungan sipil dan militer telah menjadi isu global pasca-Perang Dingin. Ia menyoroti bagaimana pada masa sebelumnya, Amerika Serikat tidak mempermasalahkan apakah suatu negara dipimpin oleh pemerintahan sipil atau militer, asalkan tidak berada di bawah kekuasaan komunis.
“Setelah Perang Dingin, peran militer dalam politik menjadi isu yang ditiupkan oleh Barat. Barat memperhadapkan militer dan demokrasi sebagai dua sisi yang berlawanan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa konstitusi Indonesia telah menempatkan militer di bawah supremasi sipil, dan doktrin militer Indonesia sangat menghormati pemerintahan sipil. Menurutnya, hubungan sipil-militer di Indonesia seharusnya bersifat kontrol objektif, di mana militer diberikan otonomi dalam tugasnya, sementara sipil tidak melakukan intervensi berlebihan atau menarik militer dalam urusan politik.
“Militer Indonesia adalah militer profesional yang fokus pada tugasnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Abdul Haris menyoroti reformasi TNI yang berlangsung sejak 1998. Menurutnya, dengan konsep Paradigma Baru TNI, institusi militer telah menjalani berbagai tahap reformasi, termasuk meninggalkan konsep Dwifungsi ABRI.
“Hari ini kita bisa melihat bahwa seorang mantan Pangkostrad atau mantan Panglima TNI bisa tidak terpilih dalam Pilkada. Ini sesuatu yang mustahil terjadi di era Orde Baru,” katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa peran militer dalam pemerintahan bisa kembali menguat jika kekuatan sipil melemah akibat konflik internal di partai politik atau ketidakstabilan pemerintahan sipil.
“Ketidakstabilan pemerintahan sipil justru akan memperkuat posisi militer dalam pemerintahan,” pungkasnya.***