Kabarnusa.com – Berbagai konflik dan kekerasan yang masih terjadi di beberapa negara Asia mendorong kalangan pemikir dan agamawan di sepuluh knegara untuk meningkatkan kerjasama dan hubungan antar umat beriman atau beragama.
Saat ini, pemerintah telah menyiapkan draft RUU Perlindungan Umat Beragama. Sebagai negara dengan komunitas beragama dan beragam maka pemerintah perlu memastikan semua agama mendapat perlindungan dalam kebebasan menjalankan agam dan keyakinannya.
“Saat ini, RUU Perlindungan Umat Beragama masih dalam penyiapan draft,” kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Katolik Kemenag Eusabius Binsasi di sela KOnferensi Asian Journey yang berlangsung 28 September-1 Oktober 2015 di Kuta, Bali.
Apalagi, konflik dan kekerasan yang terjadi kerap berkaitan dengan masalah hubungan umat beragama atau beriman sehingga pemerintah perlu membuat aturan hukum baru yang lebih melindungi semua umat beragama tanpa melihat mayoritas dan minoritas.
Diharapkan, lewat forum yang diselenggarakan Asian Journey bersama Konfernsi Waligeraja Indonesia (KWI) dan Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kepercayaan KWI, lahirlah kerja sama dalam menyikapi keprihatinan yang muncul dalam hubungan antar umat beragama.
“Asian Journey ini memberikan sumbangan besar melaluii diskusi semacam ini, karena pemerintah memang seharusnya bertugas mendorong dialog antar umat beriman,” imbuh Eusabius.
Konferensi dihadiri delegasi 10 negara yakni India, Singapura, Pakistan, Australia, Filipina, Kamboja, Thailand, Jepang, Taiwan dan Indonesia sebagai tuan rumah. Para delegasi berasal dari kaum religius maupun awam dari lintas agama.
Dalam pandangan Greg Soetomo, salah satu jesuit, inti konflik yang terjadi di beberapa negara adalah paham radikalisme. Radikalisme telah memicu kekerasan di beberapa negara termasuk Indonesia.
“INter-religoious dialog merupakan upaya konstruktif dan produktif untuk meredam radikalisme,” ucap Soetomo yang tengah menekuni studi Kajian Islam di Universitas Islam Neteri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Hal sama disampaikan, penggagas Asian Journey, lewat gerakan yang dibangun yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi, aktvis. reilgius hingga masyarakat awam ini, berkontribusi dalam mendorong dialog dan upaya penyelesaian konflik dan kekerasan atas nama agama.
Kini, setelah 18 tahun gerakan ini, lahir, kembali digelar pertemuan untuk mendorong kembali tumbuhnya gerakan dialog antar agama.
Di pihak lain, Sekretaris Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) JOhanes Hariyanto SJ yang hadir dalam konferensi ini, menyatakan, selama ini UU tentang kebebasan beragama tidak berjalan sesuai harapan.
Banyak pemeluk agama yang hendak mendirikan tempat peribadatan mengalami kendala yang sulit dipecahakan bahkan sampai bertahun-tahun. Pada faktanya, negara belum bisa memberikan jaminan dan perlindungan seperti diharapkan padahal dalam UU jelas mengatur kebebasan menjalankan agama bagi pemeluknya.
Bahkan ada pembangunan gereja sampai 30 tahun tidak selesai-selesai izinnya, demikian juga pembangunan tempat peribadatan agama lainnya.
“Saya kira ini dirasakan semua pemeluk umat bergama, lantas, apa bedanya membangun rumah ibadah dengan panti pijat, bedanya membangun panti pijat lebih mudah,”selorohnya..
Negara kata Hariyanto, mestinya tidak terlalu jauh mencampuri urusan peribadatan umat beragama, Dia juga mengkritisi UU yang ada sekarang ini, di mana definisi agama sampai saat ini masih sepihak menurut tafsiran negara.
“Sampai sekarang, definisi agama belum clear, belum disepakati, karena definisi sekarang berdasar agama monoteis,” tandasnya.
Untuk itu, pihaknya mengaku telah menyiapkan RUU tandingan tentang perlindungan dan kebebasan beragama yang saat ini masih dalam tahap penggodokan. (rhm)