Hadapi Ancaman Dampak Corona, BI Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

7 April 2020, 12:11 WIB
Trisno
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho/dok.

Denpasar – Bank Indonesia akan terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dalam menghadapi ancaman dampak penyebaran virus corona Covod-19 yang bisa membahayakan perekonomian nasional.

Diketahui, pada 31 Maret 2020, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Mengahadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Mencermati kondisi perekonomian Indonesia khususnya sebagai dampak penyebaran COVID-19, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyampaikan tiga hal terkait perkembangan terkini dan kebijakan yang ditempuh sesuai kewenangan Bank Indonesia, khususnya terkait penerbitan Perppu No.1 Tahun 2020.

Sebagaimana dikutip Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho, tiga langkah penting itu adalah, pertama, nilai tukar Rupiah saat ini memadai. BI terus memperkuat intensitas triple intervention baik secara spot, DNDF, dan pembelian SBN dari pasar sekunder.

“Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai fundamental dan mekanisme pasar,” tegas Trisno dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/4/2020).

BI meyakini, nilai Rupiah bergerak stabil dan akan cenderung menguat ke level 15.000 per dolar AS pada akhir tahun ini. Melalui koordinasi dengan pemerintah, BI juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan lebih rendah dari 2,3% pada 2020.

Dampak nilai tukar terhadap inflasi rendah. Ke depan akan tetap rendah karena permintaan masyarakat rendah. “Sehingga inflasi inti yang disebabkan kesenjangan output juga rendah. Selain itu ekspektasi inflasi masih terjaga, seiring terjaganya pasokan,” tuturnya.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, lanjut Trisno, kecenderungannya tidak akan pass through depresiasi Rupiah terhadap inflasi, karena permintaannya rendah. Kedua, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI di pasar perdana adalah sebagai The Last Resort.

BI menegaskan, perluasan kewenangan bagi BI untuk dapat membeli SBN, dalam hal ini SUN/SBSN jangka panjang di pasar perdana untuk membantu pemerintah dalam membiayai penanganan dampak penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Perppu No.1 Tahun 2020 adalah sebagai ”last resort”, bukan dalam rangka bail-out atau BLBI.

BI hanya akan membeli apabila pasar tidak bisa menyerap (antara lain karena yield tinggi dan tidak rasional). BI akan seminimal mungkin melakukan pembelian SBN di pasar primer, sehingga dampak terhadap inflasi juga rendah.

Saat ini, fokus akan dilakukan bagaimana SBN dapat diserap pasar domestik maupun global. Apabila lebih banyak diterbitkan di global maupun dibeli oleh investor asing di dalam negeri, maka akan terjadi capital inflows.

Masuknya devisa ke Indonesia berarti menambah pasokan valas. Jika terjadi pasokan valas, maka Rupiah akan meningkat. Penerbitan Perppu di dalam kondisi extraordinary circumtance karena pandemi COVID-19 tentunya didukung BI.

Saat ini dibutuhkan extraordinary measure berupa relaksasi perundangan (melalui penerbitan Perppu) dalam memitigasi dampak COVID-19 sebagai landasan langkah antisipatif bersama Pemerintah, OJK, dan LPS.

Langkah ketiga, BI tidak menerapkan kontrol devisa. Pengaturan pengelolaan lalu lintas devisa bagi Penduduk Indonesia yang diatur dalam Perppu No.1 Tahun 2020, bukan merupakan kebijakan kontrol devisa.

Namun merupakan kebijakan pengelolaan devisa yang diberlakukan hanya bagi Penduduk (tidak berlaku bagi non-Penduduk/investor asing).

Investasi asing dalam bentuk portofolio (saham, obligasi) dan PMA masih dibutuhkan bagi ekonomi Indonesia sehingga kebijakan lalu lintas devisa bebas bagi investor asing tetap berlaku.

Pengelolaan devisa bagi Penduduk dapat berupa kewajiban konversi devisa hasil eskpor ke dalam Rupiah, namun saat ini belum terdapat rencana untuk diberlakukan. Saat ini ketentuan devisa hasil ekspor masih berlaku untuk eksportir dan importir.

Pengeloaan devisa tersebut diperlukan dalam mendukung stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, termasuk stabilitas nilai tukar Rupiah.

Demikian juga, pengaturan devisa bagi penduduk tersebut masih konsisten dengan prinsip pengeloaan makroekonomi secara prudent yang berlaku secara internasional, khususnya dalam kondisi ekonomi dalam tekanan seperti akibat pandemi COVID-19.

BI akan terus berkoordinasi dalam melakukan langkah tersebut bersama Pemerintah, OJK, dan LPS untuk memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu.

“Termasuk langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan,” demikian Trisno. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini