Harga Gas PGN Dijepit Kebijakan Penguasaan Hulu dan Hilir Energi

11 Februari 2020, 06:23 WIB

Posisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara umum dilematis oleh kerangka
kebijakan harga pasar energi dan pelayanan atas kepentingan publik.

Di satu sisi BUMN dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
diharuskan untuk melayani kepentingan publik (Public Service Obligatian/PSO)
yang merupakan mandat Pasal 66, alih-alih di sisi yang lain juga diharuskan
untuk meraih keuntungan dan harus menjalankan UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT).

Tentu saja, siapapun Dewan Manajemen akan berada dalam kesulitan untuk
menjalankan aksi korporasi BUMN terkait dengan kebijakan tersebut.

Begitu juga halnya dengan PT. (Persero) Perusahaan Gas Negara (PGN) yang
kemudian diberikan 3 (tiga) opsi oleh Presiden Joko Widodo terkait tuntutan
para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk
menurunkan harga gas industri.

Opsi Harga

Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas (Ratas) dengan topik ‘Ketersediaan
Gas untuk Industri’, di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan,
Jakarta, pada Hari Senin tanggal 6 Januari 2020 telah menyampaikan arahan agar
menurunkan harga gas, sebagai pilihan bagi PGN.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti soal harga gas industri yang masih
belum berhasil untuk diturunkan oleh otoritas ekonomi energi menjadi masalah
bagi kalangan industri.

Presiden juga menyampaikan sasaran (target) agar harga gas industri jadi US$ 6
per MMBTU dalam 3 bulan ke depan dapat diwujudkan. Mungkinkah itu dapat
dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)?

Dalam Ratas itupun, Presiden memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan
harga gas tersebut kepada para pembantunya melalui 3 (tiga) opsi. Opsi pertama
adalah pengurangan porsi jatah pemerintah yang sebesar US$2,2 per 1 Milion
British Thermal Unit (MMBTu) dari hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) di
sektor hulu.

Opsi kedua, yaitu penerapan DMO atau Domestic Market Obligation, dan opsi
ketiga adalah melakukan impor gas dari luar negeri.

Namun, opsi ketiga ini sepertinya sengaja ditempatkan sebagai pilihan ketiga
oleh Presiden sebagai opsi yang tak mungkin akan dilakukan, karena keluhan
Presiden atas neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang defisitnya
membengkak.

Dalam konteks opsi kebijakan harga gas industri ini kelihatan sekali Presiden
memahami permasalahan industri hulu yang saat ini berada dalam penguasaan K3S.
Namun, yang perlu dipertanyakan adalah kemana mengalirnya porsi atau jatah
Pemerintah yang sebesar US$ 2,2 per MMBTu itu selama ini?

Jika porsi ini dikelola baik sejak dahulu, maka opsi penataan hulu gas ini
akan mampu mengatasi persoalan harga gas dan pembangunan infrastruktur
industri hulu gas atau energi.

Apakah Presiden tidak memperhatikan secara serius bahwa kebijakan harga gas
industri juga dipengaruhi oleh penguasaan gas di sektor hulu ini? Apabila
sektor hulu gas ini sepenuhnya berada dalam penguasaan BUMN, maka soal porsi
pemerintah bukanlah faktor yang signifikan membuat harga gas yang mahal selama
ini.

Sepertinya opsi pengurangan porsi pemerintah ini tentu akan bermasalah bagi
keuangan negara, meskipun Presiden memerintahkan Menteri Keuangan (Menkeu)
untuk melakukan kalkulasi.

Apalagi yang mungkin dikalkulasi dengan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2020 yang telah diajukan defisit sebesar 1,76 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB)?

Hal ini perlu dipertimbangkan secara matang, cepat dan tepat agar tak membuat
kontraksi pada keuangan negara.

Yang paling mungkin juga dilakukan adalah mengurangi pors batas laba (profit
margin) dari K3S itu sendiri dan melakukan pemetaan industri sektor apa dan
klasifikasinya yang seharusnya memperoleh insentif harga gas dan mana yang
tidak.

Tugas pokok dan fungsi pemetaan inilah yang harus dilakukan oleh Kementerian
Perindustrian yang selama ini tak pernah melakukannya.

Peran Subholding

Walaupun demikian, opsi DMO yang diajukan oleh Presiden, tetap berpengaruh
pada kebijakan penguramgan porsi yang diberikan kepada pemerintah atau
komplementer. Sebab hal ini tetap masuk dalam rumusan variabel pembentuk harga
hulu gas yang dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).

Sementara itu, di hilir industri gas pun PGN diminta untuk memberikan harga
yang murah kepada konsumen, mungkinkah dengan harga gas hulu yang sudah tinggi
PGN dapat memberikan harga yang rendah?

PT PGN Tbk (PGAS), sebagai perusahaan gas bumi nasional menyatakan akan
menjalani perannya sebagai sub holding gas untuk mendukung opsi-opsi yang
diajukan Presiden tersebut.

Sebab, PGN yakin gas masih menjadi sumber energi yang efektif, efisien,
kompetitif dan ramah lingkungan untuk industri nasional.

Perlu diketahui publik, bahwa sub holding gas ini telah mengelola 96%
infrastruktur gas bumi. Dan, pada Tahun 2020, PGN juga melakukan percepatan
bisnis gas bumi terintegrasi, termasuk untuk jaringan gas konvensional seperti
pipa CNG dan LNG.

Agar upaya PGN untuk meningkatan perluasan pembangunan jaringan transmisi
Gresik-Semarang dengan panjang 272 km berjalan lancar, maka pemerintah perlu
juga memberikan dukungan atas pembiayaannya dengan memberikan diskresi
korporasi dalam penetapan harga gas industri.

Tanpa dukungan itu, pembangunan jaringan distribusi gas bumi, yang ditargetkan
lebih dari 180 km, dengan rincian di Jawa ± 60 km dan di Sumatera ± 120 km
akan tergantung pada pembiayaan konvensional, yaitu utang atau global bond.

Target PGN tersebut tidaklah ringan, dengan visi menyatukan infrastruktur pipa
trans Sumatera dan Jawa, walaupun PGN meyakini program-program pengembangan
infrastruktur ini akan memberikan manfaat (benefit) berupa kehandalan
kapasitas infrastruktur LNG dan Gas Pipa Domestik, mendorong tambahan
peningkatan utilisasi gas bumi domestik sampai dengan 130 Bbutd atau setara
dengan 23 ribu BOEPD, serta meningkatkan kemampuan PGN di pasar internasional
sebagai global player.

Pertanyaannya kemudian adalah, mampukah pemerintah memberikan opsi yang sama
dalam penguatan BUMN PGN dalam mendukung kemandirian sektor gas bumi ini,
terutama dalam kebijakan harga?

Hal ini ditujukan agar BUMN, khususnya tak terjepit dalam visi strategis
korporasinya dan pelayanannya kepada publik dengan harga yang wajar dan masuk
akal, termasuk kendala 2 (dua) UU (BUMN dan PT) yang dibebankan pada BUMN,
sementara korporasi swasta dan asing tak punya beban tersebut. (*)

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi Alumnus Universitas Gadjah Mada

Artikel Lainnya

Terkini