Hari Hak Konsumen se-Dunia, Regulasi Digital Belum Berikan Perlindungan

15 Maret 2018, 11:41 WIB
commerce
ilustrasi/net

JAKARTA– Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpandangan di era digitalisasi ekonomi saat ini tidak didukung dengan regulasi dan kebijakan yang kuat untuk melindungi konsumen.

Hal itu ditegaskan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam menyambut peringatan _World Consumer Right Day_ (WCRD), atau Hari Hak Konsumen se-Dunia yang jatuh Kamis (15/3/2018).

Diketahui, sSecara serentak peringatan dilakukan di 120 negara di dunia, yang merupakan anggota _Consumer Internasional_(CI), yang bermarkas di London.  Bersama 255 lembaga konsumen di dunia, YLKI adalah satu-satunya lembaga konsumen di Indonesia yang menjadi anggota penuh (full member) CI sejak 1974.

Secara historis, peringatan WCRD berawal dari pidato Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan Kongres pada 15 Maret 1962.

Dijelaskan Tulus, konsumen adalah kelompok ekonomi terbesar, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi publik dan swasta. Namun mereka adalah satu-satunya kelompok penting…yang pandangannya sering tidak didengar._

Tema peringatan WCRD pada 2018 adalah adalah _Fairer Digital Market Places_ atau Pasar Digital yang Adil. Pasar digital yang adil bagi konsumen adalah terwujudnya regulasi dan kebijakan yang adil untuk melindungi hak-hak konsumen.

“Dalam konteks WCRD dan aktualitas yang terjadi di Indonesia, apakah pasar digital yang adil bagi konsumen sudah bisa diwujudkan,” tanya Tulus.

Pemerintah memang telah begitu getol mendorong dan mempromosikan terwujudnya ekonomi digital. Promosi dan dorongan pemerintah untuk mewujudkan ekonomi digital bisa dipahami. Mengingat, begitu tingginya pengguna internet di Indonesia, lebih dari 135 juta orang.

Dan faktanya masyarakat Indonesia begitu gandrung dengan media sosial.  Kontribusi transaksi ekonomi digital pun terus naik, walau baru sekitar 2,1 persen dari total transaksi di sektor retail.

“Namun sayangnya, era digitalisasi ekonomi tidak didukung dengan regulasi dan kebijakan yang kuat untuk melindungi konsumen,” katanya menegaskan.

Terbukti masih sangat tingginya pengaduan konsumen di YLKI yang terkait dengan dimensi ekonomi digital seperti belanja online (e-commerse) dan juga transportasi online. Dari 642 pengaduan konsumen di YLKI (2017) prosentase tertinggi adalah pengaduan masalah belanja elektronik, sebesar 16 persennya.

Padahal tiga tahun sebelumnya pengaduan masalah belanja elektronik masih minim. Apalagi saat ini Bank Indonesia getol mendorong implementasi uang elektronik. Terhadap uang elektronik nyaris tidak ada perlindungan bagi konsumen, terutama jika uang elektronik tersebut hilang.

Hal yang juga menjadi permasalahan mendasar dalam belanja online adalah masalah perlindungan data pribadi. Sampai detik ini tidak ada pihak yang bisa menjamin adanya keamanan perlindungan data pribadi dalam belanja online, termasuk dalam transportasi online.

Mengingat Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan data pribadi. Termasuk kebijakan pemerintah dalam registrasi kartu prabayar juga ternyata sangat rawan adanya kebocoran data pribadi milik konsumen.

Dengan era digitalisasi ekonomi yang terus menanjak, sangat ironis jika pemerintah belum membackup dengan regulasi yang kuat untuk melindungi konsumen. Sangat mendesak untuk segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RPP Belanja Online dan juga RUU Perlindungan Data Pribadi.

“Tanpa regulasi dan kebijakan yang kuat untuk melindungi konsumen, era ekonomi digital justru akan menjadi bumerang bagi konsumen. Dan ini mencerminkan kondisi yang tidak fair, tidak adil bagi konsumen,” demikian Tulus. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini