Denpasar – Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 kembali hadir memukau, mengusung tema “Seni Semesta Raya” yang mendalam, melanjutkan benang merah dari tema-tema sebelumnya seperti “Wanakerthi”, “Janakerthi”, dan “Danukerthi”.
Tema “Jagat Kerthi” atau Semesta Raya, yang diangkat pada tahun ini, diinterpretasikan sebagai seruan untuk merefleksikan dan menampilkan harmoni dalam berbagai dimensi kehidupan—baik manusia, lingkungan, maupun elemen semesta lainnya.
Maestro tari Bali, Prof. Dr. I Wayan Dibia, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk seni dan budaya Bali, menekankan bahwa harmoni menjadi kunci utama yang harus terpancar dari setiap karya yang disajikan.
Dalam perbincangan dengan junalis peserta pelatihan Peserta Lokakarya IMP Pesta Kesenian Bali PKB ,di Denpasar, Prof Dibia, yang telah terlibat dalam PKB sejak 1979 dan dikenal atas perannya dalam menggali potensi seni dari desa-desa di Bali, melihat PKB bukan sekadar panggung pertunjukan.
“Desa adat kita ibarat perpustakaan hidup. Setiap desa memiliki struktur dan kekhasan seni yang luar biasa,” ujarnya. Baginya, PKB adalah wahana penguatan budaya dan ekspresi identitas lokal yang tak ternilai.
Dialog Kebudayaan dan Regenerasi Seniman
PKB 2025 tidak hanya diramaikan oleh seniman-seniman dari seluruh penjuru Bali, tetapi juga oleh 12 grup kesenian dari luar Bali, termasuk Solo, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan.
Kehadiran peserta dari berbagai daerah ini menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan plural. Dalam konteks inilah, dialog menjadi krusial. Seperti yang diungkapkan Dibia, “Di sinilah diperlukan dialog, bagaimana kita menemukan win-win solution, daripada bersitegang satu sama lain.
Sebagai satu bangsa harus menyatukan diri kita, meski budaya adat, latar belakang, agama kita berbeda.” Pesan harmoni ini tidak hanya relevan untuk seni, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya menjaga keharmonisan hidup dalam masyarakat yang beragam.
Lebih lanjut, Dibia menyoroti pentingnya regenerasi dalam PKB. Pawai pembukaan atau Peed Aya secara khusus menjadi ruang vital bagi alih generasi, dengan melibatkan anak-anak muda secara aktif.
Hal ini memastikan keberlanjutan tradisi dan semangat berkesenian di kalangan generasi penerus. Minat internasional yang meningkat terhadap PKB juga dilihat Dibia sebagai peluang, bukan ancaman. PKB, dalam pandangannya, memiliki potensi besar untuk menjadi ajang budaya global yang kokoh berakar pada nilai-nilai lokal.
PKB sebagai Teladan Pemajuan Kebudayaan
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, saat membuka PKB, menyampaikan harapan besar agar inisiatif serupa dapat berkembang di daerah lain di seluruh Indonesia.
Menurutnya, kegiatan kebudayaan harus lahir dari kekhasan lokal masing-masing, karena pada hakikatnya, Indonesia dibangun dari keberagaman budaya daerah yang bersatu dalam semangat kebangsaan.
Semangat gotong royong dan dedikasi terhadap pemajuan kebudayaan yang disaksikan di PKB diharapkan menjadi teladan bagi semua, menegaskan bahwa budaya adalah kekuatan pemersatu dan sumber inspirasi bersama.
PKB 2025, dengan tema “Seni Semesta Raya” dan penekanan pada harmoni, menjadi cerminan nyata bagaimana seni dan budaya dapat menjadi jembatan pemersatu di tengah keberagaman, serta inspirasi untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan semesta.
Gubernur Koster terus memuji dedikasi para seniman. Ia menyaksikan langsung bagaimana karya dan inovasi tanpa henti mereka mampu menghidupkan setiap panggung PKB dari tahun ke tahun.
PKB tahun ini, menurut Gubernur Koster, menjadi cermin keberagaman seni yang berakar kuat pada kearifan lokal dan sejarah daerah.
Muhammad Ridwan, salah satu tokoh muslim dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Bali, menyoroti relevansi Pekan Kesenian Bali (PKB) dalam menjaga keharmonisan di Pulau Dewata.
Menurutnya, berbagai pentas dan pertunjukan yang ditampilkan dalam ajang tahunan tersebut kerap menyampaikan pesan-pesan penting untuk memelihara dan memperkuat hubungan antarumat beragama di Bali.
Ridwan menegaskan dukungan penuh NU Bali terhadap tema harmoni yang diusung dalam PKB. Pihaknya menyatakan sejalan dengan upaya merawat kebhinekaan di tengah pluralisme masyarakat Bali.
Sementara bagi Dini, warga Denpasar, PKB bukan sekadar tontonan biasa. Setiap tahun, wanita asal Denpasar ini selalu menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk hadir, bukan hanya untuk terpukau pada keindahan gerak dan tari para seniman, tapi juga mencari sesuatu yang lebih dalam.
“Selain hiburan tersendiri, pesan-pesan perdamaian dan menjaga keharmonisan dalam setiap pentas kesenian itu, rasanya cukup mengena dan dalam di hati saya,” ungkap Dini, matanya berbinar mengingat kembali pertunjukan yang disaksikannya.
Baginya, di balik gemerlap panggung dan kostum indah, terselip bisikan makna yang mampu menenangkan jiwa dan mengingatkan pentingnya persatuan. PKB tak hanya memanjakan mata, tapi juga menyentuh hati, menjadikan festival ini penantian yang selalu dinanti-nantikan. ***