Bangli– Riuh rendah suara warga Desa Adat Mengani memecah keheningan pagi. Senin (14/4/2025) menjadi hari yang dinanti, hari di mana tradisi “Ngejuk Wadak” kembali digelar, sebuah ritual unik yang tak hanya memburu seekor sapi, namun juga memupuk erat tali persaudaraan dan semangat gotong royong yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Desa yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Bangli dan Badung ini memang dikenal kaya akan kearifan lokalnya, dan “Ngejuk Wadak” adalah salah satu permata budayanya.
I Gede Subrata, Kelaian Banjar Adat Mengani, dengan bangga menjelaskan esensi tradisi ini. Di Mengani, “wadak” bukanlah sekadar sapi Bali biasa. Hewan ini disakralkan, dihormati layaknya “jro gede” – sebutan kasih sayang dan penghormatan dari masyarakat setempat.
“Ini inti keyakinan kami di Mengani,” tuturnya, didampingi oleh I Wayan Puja dan I Wayan Karsana, dua tokoh penting banjar yang turut mengawasi jalannya prosesi.
Sebelum jantung berdebar kencang dalam aksi pengejaran, sebuah ritual sakral terlebih dahulu dilaksanakan. Setiap krama (warga) Mengani yang terlibat dalam “ngejuk wadak” wajib mengikuti upacara khusus di Pura Bale Agung Mengani. Mereka memanjatkan doa, memohon keselamatan, dan ngatur piuning (memberitahukan) kepada Sang Hyang Pencipta.
“Ini bukan sekadar berburu biasa. Ada konsekuensi spiritualnya. Mereka yang tidak ikut upacara, pantang ikut mengejar wadak. Kami percaya, tanpa restu, ‘sifat dewa’ dalam wadak bisa muncul, bahkan mengamuk,” imbuh I Gede Subrata, mengingatkan akan kesucian hewan tersebut.
Wayan Puja menambahkan informasi menarik tentang keberadaan wadak di Mengani. Saat ini, ada tiga ekor wadak yang dipelihara secara komunal. Setiap sasih kedasa (bulan kesepuluh dalam kalender Bali), satu ekor akan disembelih sebagai bagian dari upacara panguangan.
“Wadak ini ‘dilahirkan’ sekitar sebulan setelah upacara panguangan, melalui ritual ngrasakin. Seekor anak sapi jantan yang telah diupacarai kemudian dilepasliarkan, dibiarkan tumbuh besar di alam bebas,” jelas Kelih Nopi, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa meskipun wadak dikembangkan secara komunal, tak jarang ada warga yang ngaturang sesangi (kaul).
Jika usaha mereka lancar atau keluarga sejahtera, mereka akan menghaturkan “bulu geles” (sapi) sebagai wujud syukur, yang kemudian menambah jumlah wadak di desa.
Antusiasme membara terlihat jelas di wajah I Wayan Karsana saat ia menyoroti betapa dinantinya tradisi “ngejuk wadak” oleh seluruh warga Mengani, baik pria maupun wanita.
“Bagi kaum laki-laki, ini adalah ajang memacu adrenalin! Mengejar wadak yang lincah dan terkadang sedikit liar memberikan sensasi tersendiri,” ungkapnya dengan semangat.
Lebih dari itu, ia menekankan bahwa partisipasi aktif seluruh krama Mengani menunjukkan soliditas dan semangat gotong royong yang luar biasa.
Tanpa komando khusus, tua, muda, bahkan anak-anak kecil bergerak serempak, baik terlibat langsung maupun menyaksikan jalannya tradisi.
Prosesi “ngejuk wadak” kali ini menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian upacara panguangan yang akan berlangsung antara 12 hingga 20 April 2025.
Ratusan warga Mengani dari berbagai usia memadati wantilan (balai serbaguna) desa. Sebelum aksi pengejaran dimulai, upacara keagamaan dipimpin oleh krama keduluan Desa Adat Mengani. Menurut Jro Bayan Mucuk I Wayan Pasek, ritual ini bertujuan untuk melancarkan jalannya “ngejuk wadak”.
“Sejak awal pembuatannya, wadak sudah disucikan. Saat ditangkap pun, krama dan peralatan yang digunakan harus disucikan terlebih dahulu. Tali yang digunakan untuk menangkap juga diperciki tirta (air suci) sebelum digunakan,” jelas tokoh masyarakat sekaligus Pekaseh Subak Giri Merta Yoga ini.
Dr. I Made Sarjana, S.P., M.Sc, seorang akademisi Universitas Udayana yang juga merupakan krama Adat Mengani, memberikan perspektif ilmiah mengenai tradisi wadak. Ia menjelaskan bahwa tradisi ini erat kaitannya dengan wali (upacara keagamaan) budidaya padi gaga. Serangkaian upacara dilakukan sebelum wali panguangan dengan tujuan agar tanaman di Mengani tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah. “Upacara panguangan adalah puncak dari seluruh rangkaian wali. Ini dulunya adalah semacam pesta pasca panen, ketika Mengani masih mengandalkan padi gaga,” tegas Sekretaris Ikatan Sosiologi Indonesia Wilayah Bali ini.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pada upacara panguangan, selain panen beras yang melimpah, juga ada pembagian daging sapi (wadak), yang merupakan implementasi ketahanan pangan bagi masyarakat Mengani. Dr. Made Sarjana menekankan bahwa hingga kini, krama Mengani sangat solid dalam melestarikan tradisi dan menjalin kolaborasi. Ia berharap semangat komunal ini akan menjadi modal sosial yang kuat untuk memajukan Desa Mengani di berbagai bidang. (*)