Jakarta, 18 Januari 2025 – Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, mengkritik tajam rencana pembongkaran pagar laut yang dilakukan oleh aparat pada Sabtu (18/1).
Ia menilai langkah tersebut berpotensi menjadi sekadar gimik tanpa menyelesaikan akar masalah. Noor mendesak agar pelaku pemasangan pagar tersebut ditindak sesuai hukum dan diminta bertanggung jawab langsung.
“KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) jangan buat gimik asal babak senang (ABS). Ini hanya buang-buang anggaran negara. Yang memasang pagar itulah yang harus mencabutnya sebagai bentuk tanggung jawab,” tegas Noor.
Menurut Noor, tindakan ini bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang adil.
“Mengacu pada Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dapat dikenai sanksi pidana”, jelasnya.
Menurutnya, semestinya pelaku pemagaran dan termasuk penyandang dana serta Inisiatornya harus diadili karena jelas tindakannya merupakan melawan hukum.
“Ini jelas pelanggaran. Pelaku harus diadili dan diwajibkan memulihkan kerusakan yang mereka sebabkan,” ujar Noor.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya menyeret pelaku ke meja hijau untuk memastikan adanya efek jera. Noor menambahkan.
“Jika tidak, ini hanya menciptakan preseden buruk. Aparat harus menegakkan hukum sesuai Pasal 69 Ayat (1) UU No. 32/2009, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan.” tandasnya.
Noor juga meminta aparat untuk tidak bertindak tanpa kejelasan proses hukum. Ia menduga pencabutan pagar laut ini bisa menjadi bentuk politisasi oleh pihak tertentu.
“Kalau ini hanya gimik, maka jelas tidak menyelesaikan masalah. Dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu, termasuk Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, harus diusut tuntas,” ungkap Noor.
Ia menegaskan bahwa area bekas pagar laut tersebut harus dikelola sesuai aturan hukum agar tidak menjadi objek reklamasi besar-besaran.
“Reklamasi tanpa izin adalah pelanggaran serius sesuai dengan Pasal 35 Ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa kegiatan reklamasi wajib didasarkan pada rencana tata ruang dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),” papar Noor.
Noor menambahkan bahwa pencabutan pagar saja tidak cukup. Bekas pagar tersebut harus dikeruk dan dibersihkan agar ekosistem pesisir Tangerang dapat pulih.
“Jika tidak dibersihkan, ekosistem tetap terganggu. Hal ini melanggar Pasal 33 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan pemerintah untuk melestarikan ekosistem pesisir demi mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat nelayan,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa reklamasi yang tidak dikelola dengan baik berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keberlanjutan masyarakat pesisir.
“Jangan sampai ini menjadi pintu masuk bagi reklamasi yang masif dan merusak, membentang hingga lebih dari 30 kilometer,” ujar Noor.
Menurut Noor, KKP dan aparat terkait harus transparan dan bertanggung jawab dalam menangani masalah ini.
“Kita tidak butuh pencitraan. Kita butuh langkah nyata yang menghukum pelaku dan memulihkan lingkungan pesisir,” tegasnya.
Noor berharap pemerintah menegakkan hukum dengan tegas dan memulihkan ekosistem yang rusak.
“Pemerintah wajib menghentikan praktik yang melanggar hukum ini demi keadilan dan keberlanjutan lingkungan hidup kita”, pungkasnya.***