untuk Bapak-bapak tak bernama dan untuk Ibu Resista….
Kabarnusa.com – Suatu hari saya mengalami
kecelakaan lalu lintas di Jembatan Semanggi, Jakarta. Saat itu, saya
mengendari sepeda motor dari arah Jakarta Barat. Kecelakaan itu cukup parah, tetapi saya tak sampai kehilangan
kesadaran.
Saya masih ingat, bagaimana seorang pengemudi sepeda motor
meluncur hendak masuk jalur busway, tetapi tiba-tiba mengerem dan
membanting setir ke kiri untuk kembali masuk jalur reguler.
Ban belakang sepeda motor orang itu mengenai ban depan sepeda motor
saya. Saya jatuh dan berusaha segera bangkit, tetapi langsung jatuh
lagi. Saya tidak lemas, tetapi keseimbangan saya hilang.
Beberapa orang datang membantu saya. Ada yang mengangkat badan saya
ke trotoar dan ada yang meminggirkan sepeda motor saya. Sementara
dibopong, saya melihat beberapa polisi berdiri sekitar 200-300 meter
dari tempat saya terjatuh. Namun, seingat saya, tak ada yang datang ke
tempat kejadian perkara.
Sampai di trotoar, saya merebahkan diri. Seorang pria kemudian datang membawakan air minum kemasan untuk saya.
“Minum dan kumur, Pak. Mulut Bapak berdarah,” begitu kata orang itu. Segera saja lidah saya bergerak berusaha “mencari-cari” bagian yang
berdarah. Saya terkejut. Bukan karena lidah saya mendapati bagian yang
luka itu, tetapi karena lidah saya merasa gigi depan bagian atas saya
tidak genap.
Tak berapa lama, datang seorang pemuda menghampiri saya. Ia mengendarai sepeda motor sendirian.
“Bagaimana, Pak? Kalau sudah kuat, ayo saya antar ke rumah sakit, Pak,” kata orang itu.
Lagi-lagi, beberapa orang di sekitar saya mendekat, membantu saya berdiri dan naik sepeda motor.
Setelah mendapatkan perawatan ala kadarnya dari rumah sakit terdekat,
saya berjalan kaki ke tempat saya mengalami kecelakaan, hendak
mengambil sepeda motor. Orang-orang yang tadi membantu saya, masih ada
di situ. Mereka menyongsong saya.
Kami kemudian duduk dan berbincang-bincang. Setelah agak lama
mengobrol, seorang dari mereka bangun dari duduk untuk mengambil sepeda
motor saya dari suatu tempat tak jauh dari tempat kami berbincang.
Saya tidak tahu cara berterima kasih yang pantas. Saya hanya tahu,
masih ada uang di saku dan sepeda motor saya masih punya cukup bensin
untuk saya pacu sampai ke rumah. Saya menyodorkan semua uang yang saya
masih punya.
Namun, uang saya “tidak laku” di situ. Orang-orang yang
rata-rata tukang ojek itu menolak uang saya. Mereka bilang, “pamali
pamrih sama orang yang kena musibah.” Mereka kemudian bertanya
kalau-kalau saya perlu diantar pulang, tetapi saya akhirnya pulang
sendiri.
Saya mengalami kecelakaan itu pada Maret 2011. Ingatan saya tiba-tiba
melompat ke peristiwa itu, tak lama setelah saya mendapatkan kembali
telepon selular saya, pada Jumat (31/7/2015).
Telepon genggam itu tertinggal di sebuah taksi pada Kamis (30/7/2014) malam.
Setelah menghubungi call centre
taksi itu, saya mencoba menelepon nomor telepon genggam saya yang
“hilang” itu. Saya mencobanya beberapa kali dan selalu “masuk”, tetapi
tidak ada yang mengangkat.
Keesokan harinya, istri saya mencoba menghubungi nomor saya itu.
Usaha istri saya membuahkan kabar baik. Pemegang telepon seluler saya
mengangkat telepon dari istri saya.
Ternyata orang yang menemukan telepon saya itu adalah seorang
perempuan, customer taksi setelah saya. Perempuan tersebut menemukan
telepon selular saya di taksi, tetapi takut untuk menyerahkan kepada
sopir taksi itu, sehingga memilih menyimpannya sendiri.
Singkat cerita, saya berhasil menemui perempuan itu di kantornya dan
mendapatkan kembali telepon selular saya. Perempuan itu bernama Resista
dan bekerja sebagai resepsionis. Dan, ternyata, perempuan yang bicara
dengan istri saya di telepon bukan Mbak Resista, melainkan rekannya, Ibu
Mustika.
Pengalaman saya menjadi “korban” tidak ada apa-apanya dibanding yang
dialami pemain-pemain sepak bola negeri ini. Saya kehilangan beberapa
gigi, tetapi tidak kehilangan pekerjaan. Tanpa gigi, saya masih bisa
menafkahi keluarga, tetapi bagaimana jika saya tak punya pekerjaan?
Dari derita yang “tak seberapa” itu, saya bahkan masih mendapatkan
bonus, vitamin harapan, karena setelah sekian tahun berlalu, saya masih
bertemu orang baik di Jakarta. Coba lihat pemain-pemain sepak bola
negeri ini.
Setelah FIFA membekukan sepak bola Indonesia pada Mei 2015,
pemain-pemain kesulitan mencari nafkah. Ada pihak-pihak yang berencana
menggelar “tarkam”, tetapi sejauh ini tidak terealisasi, karena PSSI dan
Kemenpora keberatan gengsi.
Mungkin, mereka masih menunggu wangsit. Namun, sementara mereka
menunggu, beban hidup pemain dan “korban” semakin banyak. Jika mau
melihat lebih jauh, ada banyak orang lagi yang susah, wasit, pemotong
rumput stadion, tukang parkir, juga calo tiket.
Seandainya tukang-tukang ojek dan Mbak Resista menolong saya karena
rasa kasihan, lantaran sepeda motor saya butut dan telepon genggam saya
tidak high-end dan itu menjadi acuan menilai status sosial
seseorang, maka lebih malang lagi para pesepak bola Indonesia, karena
orang-orang yang seharusnya mengurus mereka, menimbang kepentingan dan
berhitung harga diri.
Namun, saya yakin, tukang-tukang ojek itu dan Resista membantu saya
karena sesuatu yang lebih bernilai dan sebetulnya sederhana,
kemanusiaan. Jika keyakinan saya benar…. Ah, saya tak sampai hati
mengatakannya… (sumber:bola.com)