Kabarnusa.com – Menucuatnya pemberitaan temuan robot lengan karya putra Bali Wayan Sutawan alias Tawan menjadi perhatian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang merasa perlu kembali mengedukasi masyarakat tentang teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG).
Seiring pemberitaan Tawan yang dijuluki Iron Man asal Bali itu, teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG) pun kembali terangkat ke publik, walaupun teknologi ini terbilang lama.
“Teknologi ini, pada dasarnya merekam segala aktivitas elektrik di sepanjang kulit kepala yang berbasis pada sinyal otak,” papar Peneliti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengembangan Instrumentasi LIPi Dr. Arjon Turnip dikutip dalam laman lipi.go.id. belum lama ini.
Intinya, EEG mengacu pada perekaman aktivitas elektrik secara spontan dari otak selama periode tertentu, yang direkam dari banyak elektroda yang dipasang di kulit kepala.
LIPI telah berhasil mengaplikasikan teknologi tersebut melalui hasil riset kursi roda elektrik berbasis teknologi sinyal otak atau EEG.
“Teknologi kursi roda elektrik ini bisa digunakan untuk mempermudah penyandang disabilitas dalam menggerakkan dan mengendalikan kursi roda melalui otak,” ungkapnya.
Sementara Peneliti UPT Balai Pengembangan Instrumentasi lainnya yang juga anggota Tim Penelitian, M Agung Suhendra menjelaskan, prinsip kerja kursi roda eletrik ini adalah pengguna duduk di kursi roda memakai EEG berupa tutup kepala kain terhubung dengan penguat gelombang listrik di belakang kursi lewat kabel-kabel.
Penguat atau amplifier memungkinkan sinyal terbaca dan diterjemahkan sebagai perintah gerak kursi roda.
Bagian EEG yang menempel pada kulit belakang kepala merupakan elektroda yang berfungsi untuk mendapatkan sinyal listrik dari korteks otak besar.
“Karena hanya menempel atau non-invasif (alat tak perlu ditanamkan ke bagian tubuh), EEG sangat aman,” tukasnya. Gel disuntikan ke EEG agar penghantaran listrik lancar dari otak ke elektroda, sambungnya.
Pengguna melihat layar komputer jinjing di pantauannya. Kursi roda berjalan dan berkeliling, menyesuaikan dengan gambar kotak yang dilihat. Empat gambar kotak berkedip dengan jumlah kedipan berbeda-beda pada komputer jinjing.
Layar komputer jinjing akan memperlihatkan kotak kiri berkedip 6 kali per detik (6 Hertz/Hz), kotak kanan 7 Hz, kotak atas 8 Hz, dan kotak bawah 9 Hz.
“Jika pengguna melihat kotak kiri, alat akan menangkap frekuensi sinyal listrik dari otak juga 6 Hz dan akan diterjemahkan sebagai perintah bagi kursi roda untuk belok kiri. Ini berlaku untuk kotak-kotak lainnya,” papar Agung.
Akurasi penerimaan sinyal listrik dari otak dalam sains kognitif di seluruh dunia masih rendah, tertinggi 40 persen.
Sinyal otak mudah berubah, antara lain jika terganggu gerakan anggota tubuh, tolehan, atau keramaian. Pengembangan sistem pengendalian kursi roda itu baru setahun dan untuk sampai tahap sebelum produksi massal, masih perlu dua hingga tahun lagi.
Di sisi lain, Demi Soetraprawata, M.T., peneliti sekaligus Kepala UPT Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI menegaskan, pengenalan kembali teknologi EEG kursi roda elektrik kepada khalayak kali ini bukan berarti pihaknya melakukan perbandingan dengan temuan robot lengan dari Tawan dengan teknologi yang dikembangkan LIPI.
“Ini bukan menjawab berita-berita yang berkembang. Kami saat ini lebih mengarah pada penjelasan keilmuan teknologi EEG. Kami ingin mengedukasi masyarakat terkait kaidah risetnya,” tukasnya.
Pihaknya ke depan akan lebih mengembangkan aplikasi teknologi EEG dalam bentuk lainnya.
Sebut saja, teknologi EEG bisa diaplikasikan ke lengan elektrik dan sebagainya. (ari)