Pertemuan para tokoh agama dan spiritual, budayawan lintas daerah di Denpasar, Bali |
Denpasar – Guna mengingatkan perjuangan para leluhur dan menjaga persatuan toleransi antarumat beragama di nusantara sebuah pelinggih cabang dari Pura Penataran Luhur Medang Kamulan dibangun di Buleleng Bali.
Peletakan batu pertama pembangunan Pelinggih Medang Kamulan dilaksanakan Senin 9 September 2019 pukul 09.00 Wita di Desa Dasong, Pancasari Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Acara dihadiri langsung Romo Sepuh Satya Bhuana dan Romo Sepuh Istri Satya Bhuana dari Pura Penataran Luhur Medang Kamulan yang berada di Dusun Buku, Desa Mondoluku, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Selain itu, hadir tokoh masyarakat yang Ketua PHDI Kecamatan Kuta I Nyoman Sarjana, tokoh spiritual Romo Dukun Pandita Tengger, Mbahkung Buanergis Muryono, Budayawan Mojokerto Jawa Timur Purwanto dan lainnya.
Usai peletakan batu pertama Pelinggih Medang Kemulan, Romo Sepuh Satya Bhuana menjelaskan panjang lebar, tentang sejarah Pura Medang Kemulan di Gresik yang menandai salah satu cikal bakal masuknya Hindu di Tanah Jawa.
“Ini semua, kita di sini, tidak ada direncanakan, alamiah, para leluhur yang menentukan, bakti kepada leluhur, berdoa terus kepada leluhur, semoga semesta akan berbahagia,” ujar Romo Satya kepada wartawan di Hotel Praja, Denpasar, Selasa 10 September 2019 malam.
Menurutnya, agama itu sifatnya universal, Tuhan itu satu, semua umat manusia bersaudara, karena itu, dia mengajak semunya untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Semoga dengan seperti itu, semua bisa berjalan dengan damai.
“Kita yang terlahir di dunia, senantiasa eling ingat kepada yang melahirkan, ingat kepada leluhur, ingat Kemulan, bagi kami Kemulan masih relewan untuk leluhur kita di nusantara,” sambungnya.
Dalam merawat persatuan dan persaudaraan sesama umat di nusantara ini, maka setiap peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, di Pura Penataran Luhur Medang Kemulan, pihaknya bersama semua elemen masyarakat menggelar doa bersama lintas jagat pada 30 Juni, tanpa memandang perbedaan.
“Kami kecil, kami tidak mau pengakuan dan larut dalam perdebatan ini, kita semua tahu jaman kaliyuga, seperti apa kita semua ini, Biarkan alam yang mengatur, maka dengan doa yang tulus ikhlas, semua akan duduk bersama, semua akan dikendalikan alam, semua akan disatukan, ingat kita bersaudara, kita adalah keluarga,” tandas perwira marinir dengan pangkat dua melati di pundak itu.
Sebagai manusia, kata Romo Satya, tugasnya mendoakan agar bangsa ini selalu damai, tentram. Bagaimana masyarakat dapat hidup rukun, bertoleransi yang baik. Dengan begitu, harapannya semoga semua dapat terelakan dari marabahaya.
“Kita berdoa, doakan pemimpin kita agar amanah untuk rakyatnya,” tutup Romo Satya sembari menambahkan, tidak hanya di Buleleng, Pelinggih Medang Kamulan juga bisa dibangun di kabupaten dan kota lainnya di Bali.
Sementara itu, Ketua PHDI Kecamatan Kuta I Nyoman Sarjana, sebagai penggagas pertemuan, mengisahkan awal mula bertemu Romo Satya di Griya Guna Anyar Dasong, Pancasari, Buleleng.
Kala itu, Sarjana diundang Ida Pandita Mpu Dwija Witadharma Sanyasa. “Semua berjalan alamiah, kami bertemu pembicaraan nyambung, untuk persatuan nusantara,” tegas Sarjana.
Dari sanalah, akhirnya, lahirlah gagasan peletakan batu pertama Pelinggih Cabang Medang Kamulan yang berdiri di atas tanah untuk penyawangan di Bali milik Ida Pandita Mpu Dwija Witadharma Sanyasa seluas 30 are.
Menurutnya, Medang Kamulan sebagai awal dari berdirinya Kemulan di setiap keluarga hindu di Bali.
“Seperti dijelaskan Romo Satya, ini adalah pemersatu umat di nusantara, karena semua datang, tidak untuk bersembahayang sebenarnya, tetapi mendoakan leluhurnya, tempat leluhur di Medang Kamulan,” imbuh Sarjana. (rhm)