Kabarnusa.com – Terungkap alasan Bawaslu Bali menurunkan balho dan alat sosialisasi paket Wayan Sudirta dan Made Sumiati (SMS) di Kabupaten Karangasem yang dinilai melanggar.
Hal itu mencul dalam ’DIALOG’’ Tim Pemenangan SMS dengan KPU-Panwas Karangasem, Bawaslu Bali terkait unsur-unsur Alat Peraga Kampanye (APK).
Suasana di kantor Panwaslih Karangasem, cukup hangat, ketika terjadi diskusi mendalam tentang APK (alat peraga kampanye) antara Tim Pemenangan dan Relawan “SMS” (Sudirta-Sumiati) dengan pihak Bawaslu Bali, Panwaslih Karangasem, KPU Karangasem serta Satpol PP Karangasem.
Tim dan Relawan SMS menyambangi Panwaslih setelah sebelumnya datang ke Kantor Satpol PP Karangasem. Karena kantor Satpol PP tutup, mereka berinisiatif datang ke Kantor Panwaslih.
Putu Wirata Dwikora, Made Dewantara Endrawan, SH, dan hadir juga Korlap Pemasangan Alat Sosialisasi (KPAS) Made Dastra.
Di awal dialog, Ketua Bawaslu Provinsi Bali, Ketut Rudia menjelaskan, bahwa hari itu mereka merencanakan melakukan penertiban APK-APK yang melanggar di Kecamatan Kubu, sembari menunggu kehadiran Satpol PP sampai sekitar pk. 10.00 wita belum juga hadir.
Dasar petugas dalam menertibkan APK diatur dalam pasal 1 angka 20 PKPU No. 7/2015.
Disebutkan, unsur-unsur APK mengandung diantaranya, visi, misi, program, simbol, tanda gambar, sebagai kampanye, dengan ajakan memilih, dipasang mulai ketika pasangan kampaye ditetapkan KPU, didanai dengan APBD.
Made Dewantara Endrawan menyampaikan keberatan ketika Bawaslu dan Panwaslih menunjuk ‘’alat-alat sosialisasi’’ SMS yang dipasang di lahan-lahan pribadi sebagai ‘’APK yang melanggar.’
“Kami mempertanyakan dasar untuk menyebut sejumlah ‘’alat sosialisasi SMS’’ yang berupa baliho dan spanduk yang dipasang di lahan pribadi sebagai pelanggaran,” tanya Endrawan Sabtu (17/10/2015).
Panwaslih lalu menunjukkan hasil kajian seseorang yang menyebutkan, bahwa baliho ataupun spaduk SMS ‘’dikategorikan melanggar’’, karena mengandung sedikitnya 3 unsur dari APK seperti diatur dalam pasal 1 angka 20 PKPU No. 7/2015.
Tiga unsur itu sudah cukup, karena desain ‘’alat sosialisasi SMS’’ disebutnya ‘’mirip’’ dengan APK yang dibuat KPU.
Karena mirip dan mengandung 3 unsur APK itu, alat sosialisasi SMS dan yang lain langsung dikategorikan melanggar.
Atas penjelasan itu, Endrawan lalu menjelaskan, bahwa tidak boleh membaca pasal dalam peratura secara sepenggal-sepenggal, agar tidak sampai dicuriagai sebagai penafsiran yang dipaksakan karena ada ‘’pesanan’’ pihak tertentu.
Pihaknya menghargai posisi dan tugas Bawaslu, Panwaslih dan KPU Karangasem. Tapi membaca UU dan peraturan tidak boleh sepotong-sepotong.
Sebagai bandingan, ketika Polisi atau Jaksa menetapkan seseorang sebagai Tersangka, sesuai Hukum Acara, harus memenuhi minimal dua alat bukti permulaan yang cukup.
“Kalau alat buktinya hanya satu, Polisi atau Jaksa tidak akan menetapkan orang menjadi Tersangka,’’ katanya.
Analog dengan perbandingan itu, tidak boleh mengkategorikan baliho atau spanduk sebagai ‘’APK yang melanggar’’ kalau unsurnya hanya tiga.
“Tidak boleh menafsirkan begitu, dan kalau ragu, mesti berani bertanya kepada lembaga yang berwenang, misalnya Mahkamah Konstitusi di Jakarta, imbuhnya.
Diluar forum diskusi, Made Dastra memberikan analogi ketika pemerintah menetapkan daftar warga miskin. Ada 14 indikator yang harus dipenuhi untuk mencantumkan seorang warga masuk ‘’daftar warga miskin.’ (kto)