Ini Dia Kelemahan BPJS Kesehatan di Bali

6 April 2015, 00:33 WIB

Kabarnusa.com – Program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai memiliki banyak kelemahan dalam tataran implementasinya di Bali.

Setidaknya ada 12 kelemahan dalam amatan anggota komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta.

Kata dia, BPJS Kesehatan itu konsepsi pelayanan kesehatan dan perlindungan kesehatan yang sangat ideal, memiliki asas manfaat, keadilan sosial dan kemansiaan, dan adanya prinsip gotong royong dalam pelaksanaannya, di mana yang sehat mensubsidi yang sakit.

“Namun lemah di implementasinya. Ada 12 kelemahan dalam pelaksanaan teknis BPJS karena berkaitan dengan kondisi dan fasilitas rumah sakit, kondisi SDM, dan juga regulasi BPJS,” tandasnya Minggu (5/4/2015). 

Itu data yang dia dapatkan dari hasil mengunjungi pasien, bertemu dengan keluarga pasien, data dari pihak pukesmas dan juga informasi dinas (kesehatan).

Ketua fraksi DPDIP DPRD Bali ini meminta semua pihak terkait pelaksaan program BPJS kesehatan di Bali untuk mengurai berbagai kelemahan yang ada sehingga manfaat program pemerintah tersebut bisa dirasakan masyarakat.

12 kelemahan implementasi BPJS itu memang benar-benar fakta lapangan, bukan berdasarkan teori di belakang meja.

“Kami turun dan memantau langsung di lapangan. Pemerintah, dinkes (dinas kesehatan), BPJS dan Rumah sakit harus sinergi untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat,” ucap dia.

Adapun, kelemahan implementasi BPJS kesehatan di Bali itu, pertama, kurang sosialisasi tentang hak dan kewajiban peserta BPJS Kesehatan sehingga petugas di Puskesmas maupun di rumah sakit masih bingung.

Kedua, tempat pendaftaran yang terbatas, hanya di kantor cabang sehingga terjadi antri yang panjang. Selain itu masyarakat yang ada di pelosok daerah sampai saat ini belum terjangkau pelayanan BPJS Kesehatan.

Ketiga, fasilitas kesehatan dan SDM yang ada di Provinsi Bali tidak sebanding dengan peserta BPJS Kesehatan yang jumlahnya mencapai lebih dari 1,7 juta orang.

“Itulah sebabnya, banyak pasien BPJS yang terbengkelai dan tidak dilayani secara optimal,” sesal Parta.

Keempat, penduduk belum memiliki KTP Bali tidak bisa dilayani, padahal mereka juga adalah warga negara Indonesia.

Kelima, bayi yang lahir dari penerima bantuan iuran (PBI) tidak bisa langsung menjadi PBI sehingga masih ditanggung Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang akan berobat secara gratis.

Keenam, sistem rujukan belum optimal sehingga terjadi penumpukan pasien di rumah sakit milik pemerintah tertentu.

“Ini karena SDM dan fasilitas kesehatan belum memadai sehingga sakit yang bisa ditangani di klinik atau puskesmas malah dirujuk ke rumah sakit tipe A sehingga terjadilah penumpukan pasien di sana,” kata politisi asal Gianyar ini.

Ketujuh, data PBI seringkali tidak valid karena masih menggunakan data BPS yang lama. Akibatnya, pemerintah kesulitan menetapkan mana PBI yang ditanggung APBN dan yang ditanggung APBD.

Kedelapan, kebijakan yang dikeluarkan oleh BPJS seringkali berubah begitu cepat dan masyarakat tidak mengetahuinya.

Kesembilan, pendaftaran secara online tidak berlaku bagi masyarakat pedesaan, sementara kalau warga ingin ke kota atau ke kantor cabang harus antri panjang.

Kesepuluh, pemahaman petugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan masih sangat kurang terutama soal ketentuan pelayanan yang ditanggung BPJS kesehatan.

Kesebelas, masih dijumpai ada cost sharing terutama di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan sehingga klaim dana BPJS kesehatan itu seringkali terlambat.

“Terakhir Keduabelas, dana BPJS kesehatan lebih besar dimanfaatkan pada persoalan kuratif sementara di pihak lain belum optimal di sisi promotif, preventif dan preempatif,” demikian Parta. (kto)

Berita Lainnya

Terkini