Ironi Komersialisasi Pendidikan, Saatnya Berbenah

”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

15 Mei 2024, 13:57 WIB

Langkah-langkah perlindungan sosial, beasiswa berbasis kebutuhan, dan kebijakan harga yang adil perlu menjadi pertimbangan solusi untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak bagi setiap warga negara, bukan hak istimewa yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang beruntung.

Ironi Komersialisasi Pendidikan

Mahalnya biaya UKT di Perguruan Tinggi adalah sebuah ironi yang kontras dalam konteks komersialisasi pendidikan.

PDOI Regional Bali Dideklarasikan, Siap Patuhi Aturan dan Perkuat Kebersamaan Driver Online Indonesia

Komersialisasi pendidikan, yang seharusnya membawa pendidikan menuju arah yang lebih inklusif dan berkualitas, justru sering kali memperdalam kesenjangan akses dan memperkuat ketidaksetaraan sosial. Hal ini tentunya bertolakbelakang terhadap Pasal 4 ayat (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Parahnya, adanya fakta bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak asasi manusia yang dapat diakses oleh semua individu tanpa pandang bulu, telah berubah menjadi sebuah industrialisasi dalam praktek “jual-beli dagangan”.

Ketika lembaga pendidikan lebih memprioritaskan profitabilitas daripada misi pendidikan, biaya UKT pun sering kali melambung tinggi, menjadi hambatan utama bagi akses pendidikan tinggi bagi masyarakat dari lapisan ekonomi menengah ke bawah.

DJP Bali Optimis Penuhi Target 82 Persen Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Tahun 2024

Ironisnya, sementara mahalnya biaya UKT mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, hal ini justru dapat memperkuat ketidaksetaraan akses pendidikan dan menghambat mobilitas sosial. Masyarakat berpenghasilan rendah sering kali terpinggirkan dan sulit mengakses kesempatan pendidikan yang sama dengan mereka yang lebih mampu secara finansial.

Mengutip pemikiran Karl Mannheim dalam Paulo Freire (2001) bahwa dalam masyarakat di mana perubahan-perubahan utama dijalankan melalui musyawarah, dan dimana penilaian kembali harus didasarkan atas persetujuan dan pandangan intelektual, maka diperlukan sistem pendidikan yang sama sekali baru, yakni sistem yang memusatkan segala daya untuk mengembangkan kekuatan intelektual dan menghasilkan kerangka berpikir yang dapat memikul beban skeptisisme, dan tidak panik manakali banyak kebiasaan-kebiasaan berpikir mulai melenyap.

Sejatinya pemikiran Mannheim ini jadi rujukan bagi perumus kebijakan dalam sektor pendidikan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat yang sebagian besar sebagai obyek dalam pembangunan, khususnya pembangunan pendidikan nasional. Sebab, efek mahalnya biaya UKT juga dapat memicu masalah utang pendidikan yang menghimpit. Masyarakat terkadang terpaksa mengambil pinjaman pendidikan yang besar, dan kemudian dapat membatasi kemampuan lulusan untuk meraih keberhasilan finansial dan mengambil risiko dalam karir atau investasi masa depan.

Jadi Penguji Eksternal UKK, Astra Motor Bali Tingkatkan Kualitas Pendidikan Vokasi dan Persiapkan Siswa di Dunia Kerja

Komersialisasi pendidikan menjadi ironi yang memprihatinkan di mana pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk mengatasi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, malah menjadi sumber ketidaksetaraan yang lebih besar.

Maka, untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak bagi semua individu dan bukan hak istimewa yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membayar, diperlukan upaya serius untuk mengatasi masalah komersialisasi pendidikan dan memperjuangkan nilai-nilai esensial pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.***

Oleh: Dr. Rasminto (Akademisi Universitas Islam 45 (Unisma) dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute)

Berita Lainnya

Terkini