Janda Muda Meningkat di Desa Tegaldowo Rembang

24 April 2014, 14:56 WIB
ilustrasi perceraian
ilustrasi

Jumlah janda muda di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 saja, tercatat ada 36 janda muda yang usianya di bawah 25 tahun. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah janda muda ini mengalami peningkatan 111 persen.

Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Mukson, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang sebagaimana dikutip Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 No.1 Tahun 2013 yang diterbitkan oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag RI.

Menurut Mukson, dari jumlah janda muda tersebut 14 orang atau sekitar 38,8 persen di antaranya berusia di bawah 20 tahun. 

Jumlah janda muda berusia di bawah 20 tahun ini mengalami peningkatan 180 persen dibanding tahun sebelumnya. “Tahun 2004 janda muda di bawah usia 20 tahun jumlahnya 14 orang. Tahun 2003 jumlahnya 5 orang,” sebutnya.

Meningkatnya jumlah janda muda tersebut karena di desa tersebut banyak anak perawan yang menikah di usia dini. Dari tahun ke tahun, pernikahan usia dini di bawah umur 19 tahun jumlah prosentasenya cenderung meningkat. 

Disebutkan, pada tahun 2004 prosentasenya tercatat 72,8 persen, mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sejumlah 58,4 persen.

Dalam penelitiannya, Mukson menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pernikahan usia dini di Desa Tegaldowo. Di antaranya adalah: Ketakutan disebut sebagai perawan tua yang tak laku, Lebih baik jadi janda muda dan anak gadis sekolah mau jadi apa?

Selain faktor-faktor tersebut, menurut Mukson adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Desa Tegaldowo juga memiliki andil dalam peningkatan pernikahan usia dini, sekaligus meningkatnya jumlah janda muda di desa tersebut.

Adat istiadat yang mempengaruhinya di antaranya adalah : Kehidupan persil, Praktek keagamaan yang kurang baik serta adanya budaya Ngemblak, yakni budaya “melamar” anak perawan yang masih  duduk di bangku SD atau SMP.

Menurut Mukson, dalam penelitiannya pernikahan  usia dini memberikan sejumlah dampak negatif. Di antaranya adalah melanggar UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya tentang batasan usia minimal bagi calon pengantin.

Pelanggaran juga terhadap UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dampak negatif lainnya adalah rawannya perceraian. “Meningkatnya jumlah janda muda merupakan salah satu dampak negatife dari pernikahan usia dini,” tulisnya.

Guna menekan Pernikahan usia dini, Mukson menawakan beberapa upaya. Di antaranya adalah meningkatkan penyuluhan atau sosialisasi tentang dampak negatif pernikahan usia dini. 

Selain itu juga perlunya mengaktifkan dan mengintensifkan program gerakan keluarga sakinah serta perlunya penyebaran informasi tentang perilaku seksual  yang sehat dan benar di kalangan remaja.

Mukson juga menyarankan agar KUA dan Kementerian Agama  secara lebih luas melakukan revitalisasi  kegiatan gerakan keluarga sakinah, kursus calon Pengantin dan kegiatan peningkatan SDM lainnya. 

Dia menghimbau, agar tokoh agama dan tokoh masyarakat bersikap pro aktif melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat lebih maju pola pikirnya.

“Jangan malah mendiamkan dan memfasilitasi keinginan sebagian masyarakat untuk melakukan pernikahan usia dini,” tegasnya. (gus)

Artikel Lainnya

Terkini