Jakarta – Di balik rimbunnya hutan dan jajaran pegunungan yang memayungi nusantara, terdapat sebuah hakikat yang mengakar dalam setiap jengkal tanah Indonesia. Sebuah konsep yang melampaui sekadar pertahanan militer atau tugas kepolisian, namun merembes ke dalam jantung setiap warga negara. Itulah hakikat dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebuah asa bersama untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan tanah air.
Seiring embun pagi yang menari di atas sawah, kita menyadari bahwa pertahanan dan keamanan bukanlah beban yang hanya dipikul oleh seragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau pakaian coklat Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Ia adalah tugas yang diemban bersama oleh seluruh lapisan masyarakat, meresap dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari. Inilah inti dari Sishankamrata, sebuah konsep revolusioner yang melibatkan seluruh bangsa dalam menjaga rumah kita yang tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak pelak, keberhasilan Sishankamrata bergantung pada partisipasi aktif masyarakat. Setiap warga, tanpa terkecuali, diundang untuk menjadi pelaku utama dalam melindungi kedaulatan negara. Di kampung-kampung terpencil hingga perkotaan gemerlap, suara gotong royong membentuk sinergi yang kuat, memperkuat pagar tak kasat mata yang melingkupi bangsa ini.
Tidak hanya dalam ranah militer, melainkan juga di panggung peradaban. Sishankamrata, sapaan akrab untuk Sishankamrata, membawa makna lebih dari sekadar tugas-tugas struktural. Ia adalah panggilan untuk pemberdayaan setiap komponen bangsa, dari kaum petani yang mengolah tanah hingga pemuda-pemudi yang berkreasi di dunia digital hal tersebut perlu dibangun melalui nation and character building atau pembangunan karakter dan identitas nasional sebagai soft power pertahanan.
Sebab, di balik sejarah yang tumbuh subur dan keberagaman yang memayungi Indonesia, terdapat tugas yang mendesak untuk membangun bangsa yang kuat dan karakter nasional yang kokoh. Proses membangun identitas nasional tidak hanya sebatas pada pembangunan fisik dan ekonomi, tetapi juga merangkul nilai-nilai yang mempersatukan segenap lapisan masyarakat.
Langkah pertama dalam membangun sebuah bangsa yang solid adalah mengakui dan menghargai keberagaman. Indonesia, sebagai rumah bagi berbagai suku, agama, dan budaya, memiliki keunikan dalam perbedaan. Dalam keragaman inilah terbentuk pondasi yang kuat untuk membangun karakter nasional yang inklusif.
Pendidikan menjadi sarana utama dalam proses pembentukan karakter nasional. Di setiap sekolah, tumbuhlah generasi penerus bangsa yang tidak hanya mahir dalam bidang akademis, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai moral, kebangsaan, dan kepemimpinan. Kurikulum yang mencakup sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai Pancasila menjadi instrumen untuk memperkukuh rasa nasionalisme.
Selain itu, partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam membangun karakter nasional. Melalui berbagai kegiatan sosial, budaya, dan keagamaan, warga negara dapat merasakan kebersamaan yang mempererat ikatan persatuan. Program-program pengembangan keterampilan dan kepemimpinan di tingkat lokal hingga nasional juga dapat membentuk individu yang memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Media massa juga memiliki peran besar dalam membentuk karakter nasional. Dengan menyuarakan nilai-nilai positif, mendidik, dan menginspirasi, media dapat menjadi alat untuk memperkuat identitas nasional dan membangun kesadaran akan pentingnya kebersamaan.
Dengan langkah-langkah ini, proses membangun bangsa dan meningkatkan karakter nasional bukanlah sekadar wacana, tetapi menjadi perjalanan panjang yang melibatkan setiap individu dan elemen masyarakat. Hanya dengan kerjasama dan kesadaran bersama, Indonesia dapat terus tumbuh sebagai bangsa yang kokoh, harmonis, dan bersatu.
Begitu juga, penguatan kerjasama erat antara TNI dan Polri menjadi pilar utama. Mereka, dengan segala perbedaan tugas dan tanggung jawabnya, bersatu dalam satu tekad untuk menjaga ketenteraman dan kedamaian. Dalam kebersamaan inilah tercipta sebuah keseimbangan, di mana kekuatan militer dan penegakan hukum saling melengkapi, membentuk benteng tak tergoyahkan di garis depan pertahanan negara.
Dengan ciri khas kearifan lokal yang mengalir dalam darah setiap anak bangsa, Sishankamrata tidak hanya berbicara tentang kekuatan senjata, tetapi juga tentang kearifan bersama. Ia menuntun kita untuk menatap masa depan dengan mata penuh harap, mengukir jejak kejayaan dan keamanan yang tak tergoyahkan. Inilah panggilan untuk menjaga dan mencintai negeri, karena di tangan bersatu inilah keutuhan Indonesia terwujud, seiring dengan melambainya Sang Merah Putih di langit yang biru.
Namun, sayang-seribu sayang, pada debat Calon Presiden (Capres) sesi Ketiga yang diselenggarakan KPU RI tadi malam (7/1) di Istora Senayan yang disiarkan secara langsung oleh TV Swasta nasional dan disaksikan oleh ratusan juta pasang mata rakyat Indonesia bahkan masyarakat dunia, Sayangnya para Capres hanya berdebat seputar persoalan “hard power” pertahanan saja dengan lingkup pengadaan Alutsista dan anggaran pertahanan tanpa menyentuh masalah soft power pertahanan khususnya bagaimana pekerjaan kita dalam membangun nation and character building melalui penguatan Sishankamrata.
Apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi pada periode kedua ini dengan menjalankan amanat UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) melalui program Komponen Cadangan (Komcad) hingga angkatan ketiga merupakan bentuk perhatian dalam pembangunan nation and character building, dimana pada angkatan I tahun 2021 sebanyak 3.103 orang, angkatan II tahun 2022 sebanyak 2.974 orang dan angkatan III tahun 2023 sebanyak 2.497 orang, sehingga total sudah dibentuk sebanyak 8.574 orang. Tentunya jumlah ini amatlah sedikit jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia dan kompleksitas ancaman pertahanan nasional.
Oleh karena itu, diharapkan Capres terpilih nantinya jangan lupakan pembangunan Sishankamrata kita dengan melanjutkan penguatan pembangunan soft power pertahanan nasional dengan rencana aksi penguatan postur pertahanan secara proporsional dan terukur serta komitmen kuat peningkatan sumberdaya manusia yang memiliki nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia dengan kecintaannya terhadap Negeri ini dan dapat lebih sensitif dalam pembangunan nation and character building ini sebagai bagian pembangunan kearifan lokal masyarakat Nusantara.
Pada akhirnya kita perlu mengingat pepatah latin yang menyatakan “si vis pacem parabellum” yang berarti “jika kau mendambakan perdamaian, maka bersiap-siaplah menghadapi perang”.***