Jeritan Sopir Trans Jogja di DPRD: Gaji Anjlok, Denda ‘Cekik Leher’ Rp 500 Ribu Per Pelanggaran!

Sejak berlakunya SK Dirjen pada 2024, yang menggantikan SK Gubernur, penghasilan pengemudi mengalami pukulan telak.

21 November 2025, 23:06 WIB

Yogyakarta – Raut kecewa dan penuh harap menyelimuti wajah puluhan pengemudi Trans Jogja saat mendatangi gedung DPRD DIY, Jumat (21/11/2025).

Mereka datang bukan hanya menuntut, tetapi seolah menggugat nasib akibat kebijakan baru pengupahan dan sistem denda pelanggaran Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dinilai terlalu mencekik.

Isu paling panas yang diungkap adalah anjloknya selisih upah antara pramudi (pengemudi) dan pramugara (kondektur).

Puluhan pengemudi Trans Jogja saat mendatangi gedung DPRD DIY, Jumat (21/11/2025)/dok.oliviarianjani

Sejak berlakunya SK Dirjen pada 2024, yang menggantikan SK Gubernur, penghasilan pengemudi mengalami pukulan telak.

“Dulu selisihnya bisa sekitar Rp 30 ribu per hari, tapi sekarang tinggal Rp 13 ribu sampai Rp 14 ribu. Ini turun jauh,” ungkap Agus Triono, Sekretaris Serikat PT Jogja Tugu Trans (JTT), usai audiensi.

Penurunan drastis ini membuat tambahan pendapatan pramudi, yang memikul beban dan risiko kerja jauh lebih besar, hanya sekitar Rp 390 ribu per bulan.

Pihak serikat mendesak agar skema upah lama diberlakukan kembali karena tanggung jawab pengemudi terhadap keselamatan penumpang jauh lebih berat dibandingkan pramugara.

Namun, yang paling memicu emosi adalah sistem denda pelanggaran SPM. Khususnya terkait batas kecepatan maksimal 60 km/jam di ring road.

“Kalau lewat 60 sedikit saja, misalnya 61 km/jam selama beberapa detik, dendanya bisa Rp 500 ribu sekali pelanggaran,” seru Agus. Yang menyakitkan, denda ini dibayar penuh dari kantong sopir, bukan perusahaan!

Dampak kebijakan ini sungguh mengerikan. Beberapa pengemudi bahkan pernah tertimpa denda berkali-kali hingga total mencapai lebih dari Rp 5 juta.

“Gaji kami sekitar empat juta. Kena satu denda saja tinggal separuh. Kalau lima kali bisa minus. Ini sangat memberatkan!” keluhnya.

Di tengah ancaman denda, fasilitas kerja pun ikut dikeluhkan. Jumlah seragam yang diterima pengemudi dipangkas dari empat stel menjadi hanya dua.

Mereka juga menyoroti masalah pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar yang sering terhambat kuota di SPBU, terutama saat malam hari.

Menanggapi keluhan ini, Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan DIY, Wulan Sapto Nugroho, bersikukuh, penerapan SPM mutlak harus dijalankan demi menjaga kualitas layanan publik.

“SPM harus dijalankan. Kami pernah terima keluhan dari penumpang soal zig-zag, kecepatan berlebih, atau pengemudi main HP. Tanpa aturan ini pelanggaran bisa terus terjadi,” tegas Sapto.

Ia menambahkan, pelanggaran memang menurun tajam setelah sanksi diberlakukan. Meski begitu, Sapto mengklaim tidak hanya ada sanksi, tetapi juga penghargaan bagi pengemudi berprestasi.

Ketua DPRD DIY, Nuryadi, yang memimpin pertemuan, mengakui diskusi berjalan kondusif, namun belum mencapai titik temu.

“Masih banyak hal yang harus dibenahi bersama. Kesimpulan belum bisa diambil hari ini,” ujar Nuryadi.

Untuk mencari solusi atas kegelisahan finansial para pengemudi Trans Jogja ini, DPRD memutuskan untuk melanjutkan dialog intensif pada 1 Desember mendatang di kantor PT Anindya Mitra, perusahaan yang menaungi Trans Jogja. ***

Berita Lainnya

Terkini